18 December 2008

Arya Pamungkas, mahasiswa FISIP Jurusan Komunikasi Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon angkatan tahun 2005 yang juga merupakan salah satu pendiri organisasi GERAKAN MAHASISWA SOSIALIS (GEMSOS) CIREBON, baru saja memenangi SAYEMBARA DESAIN LOGO TATA RUANG yang diselenggarakan oleh Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Penataan Ruang.

Arya Pamungkas berdasarkan hasil penilaian Tim Juri

Dewan Juri

  1. Djoko Sujarto (ITB)
  2. Gregorius Wismantya (Profesional Desain Grafis)
  3. Bernadus Jokoputro (IAP)
  4. Dedi Permadi (Puskom Dep PU)
  5. Eko Yuli SUprapto (Ditjen Penataan Ruang)

sesuai dengan Hasil Penilaian Sayembara Desain Logo Tata Ruang berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Penataan Ruang Nomor : 22/KPTS/Dr/2008 tertanggal 6 November 2008 telah ditetapkan sebagai PEMENANG II (KEDUA) kategori mahasiswa.

Tim Juri menetapkan dan mengumumkan hasil penilaian Sayembara Desain Logo
Tata Ruang sebagai berikut :
A. Juara Umum :

GANJAR WITRIANA, Kategori Umum, Batam

B. Kategori Umum :

  1. Juara I : GANJAR WITRIANA, Batam
  2. Juara II : MARWAN CHANDRA N, Yogyakarta
  3. Juara III : GANJAR WITRIANA, Batam

C. Kategori Mahasiswa :

  1. Juara I : WICAKSONO NENG NOYO, Jakarta
  2. Juara II : ARYA PAMUNGKAS, Cirebon
  3. Juara III : YUSRANI SALMAN, KARINA PUTRI, Bandung

D. Kategori Pelajar :

  1. Juara I : TONI SUSILA HADI S, Yogyakarta
  2. Juara II : GILANG ARTHA P, Bandung
  3. Juara III : LUTFI, TOMMY, THERESA, Denpasar

info lebih lengkap disini pengumuman pemenang sayembara logo tata ruang

KAMI SELURUH JAJARAN PENGURUS DAN ANGGOTA GERAKAN MAHASISWA SOSIALIS (GEMSOS) CIREBON MENGUCAPKAN :

" SELAMAT KEPADA ARYA PAMUNGKAS SEBAGAI PEMENANG II (KEDUA) SAYEMBARA DESAIN LOGO TATA RUANG YANG DISELENGGARAKAN OLEH DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM UNTUK KATEGORI MAHASISWA"

01 December 2008

EKONOMI PASAR SOSIAL

EKONOMI PASAR SOSIALTheophilus BelaSekum Forum Komunikasi Kristiani Jakarta (FKKJ)Sejak lengsernya Soeharto 3 tahun yang lalu dan negara Indonesia telah memasuki era baru era reformasi dan demokratisasi. Dengan era baru ini bangsa kita menjadi lebih terbuka terhadap arus informasi dan komunikasi dalam rangka gerakan besar yang disebut globalisasi. Apabila kita memasuki toko-toko buku dan perpustakaan pada hari-hari ini maka mata kita akan menemukan beragam macam buku yang menawarkan berbagai pemikiran dan gagasan tentang cara bagaimana mengelola perekonomian sebuah negara atau masyarakat.Ada pemikiran Marx, ada pemikiran Anthony Giddens, Presiden Cardosso dari Brasilia dan Presiden Fox dari Mexiko, dsbnya. Yang kita temui dalam belantika kepustakaan mengenai sistem ekonomi yang ditawarkan kepada publik. Terasa sekali bahwa bangsa kita telah terkekang dalam situasi kebebasan berpikirnya selama lebih dari 40 tahun lamanya dan kita sedang mencari sistem ekonomi yang dapat mencapai cita-cita bangsa menuju “masyarakat adil dan makmur”. Sudah sejak sebelum mencapai kemerdekaan bangsa kita melalui para pemimpinnya telah mencita-citakan sebuah masyarakat yang adil dan makmur. Namun sayangnya cita-cita itu hingga kini tetap saja belum terwujud. Oleh adanya krisis keuangan dan moneter yang menimpa negara kita maka cita-cita tersebut bagi puluhan juta rakyat kita telah sirna sama sekali. Puluhan juta rakyat Indonesia telah terjerumus kembali ke lembah kemiskinan karena krisis perbankan, ribuan perusahaan gulung tikar, telah terjadi pengangguran massal, beban utang luar negeri yang berat sekali dan harga-harga kebutuhan pokok selalu melambung tinggi.Dalam keadaan semacam ini, kita harus dengan sungguh-sungguh mencari jalan keluar pemecahan masalah ekonomi, sosial, politik dan budaya yang melilit bangsa kita. Kita harus dengan senantiasa mencari jalan keluar untuk menghantar bangsa kita keluar dari kemiskinan dan ketidakadilan serta keterbelakangan. Dalam rangka kegiatan untuk menyelamatkan bangsa berikut ini disajikan sebuah pembahasan tentang sistem ekonomi pasar sosial, yang telah lebih dari 50 tahun dijalankan di Jerman.1. Apa itu ekonomi pasar sosial ?Ekonomi pasar sosial bukanlah hanya sebuah utopi namun sejak lebih dari 50 tahun terakhir ini telah menjadi sebuah kenyataan di Jerman. Sistem ekonomi pasar sosial telah diperkenalkan oleh Prof. Ludwig Erhard secara berani diwilayah Jerman Barat pada tahun 1948 pada saat diadakan pergantian mata uang Jerman. Dikatakan berani karena pada saat memperkenalkan sistem ekonomi pasar sosial Erhard berani melawan kehendak negara-negara sekutu yang waktu itu masih menduduki dan menguasai Jerman. Pihak sekutu sebenarnya ingin melanjutkan sistem ekonomi dengan perencanaan pusat yang merupakan warisan pemerintahan NAZI Hitler .Tata ekonomi baru yang secara berani dijalankan oleh Ludwig Erhard bukanlah sebuah inspirasi seorang politisi yang timbul secara kebetulan. Sistem tersebut merupakan hasil usaha penelaahan konseptual panjang yang dijalankan oleh Prof. Erhard dan beberapa professor Jerman lainnya. Konsepsi ekonomi tersebut merupakan hasil kerjasama antara para ahli ekonomi dan hukum secara bersama. Para ahli tersebut antara lain ialah Walter Eucken dan Franz Boehm (universitas Freiburg), Wilhelm Roepke (universitas Genewa) dan Alexander Ruestow (universitas Istambul dan kemudian universitas Heidelberg) serta yang terakhir ialah Alfred Mueller-Armack (universitas Muenster dan Koeln). Mueller-Armack-lah yang akhirnya mempopulerkan istilah ekonomi pasar sosial. Semua sarjana ini pernah hidup dialam ekonomi terpimpin atau sistem ekonomi yang direncanakan secara pusat dari pemerintah NAZI Adolf Hitler dan mereka meneliti atau mengadakan studi yang mendalam mengenai sistem tersebut .Namun sebelumnya mereka juga mengalami sistem ekonomi “Laissez-faire” atau ekonomi liberal, yang sama sekali tidak berdaya menghadapi kaum monopolis dan kegiatan-kegiatan yang membatasi persaingan dan akhirnya terjerumus kedalam langkah-langkah kebijakan ekonomi yang intervensionistis yang tidak sistematis dan tidak berhasil .Dari pengalaman-pengalaman dengan kedua sistem tersebut di Jerman maka para pakar tadi akhirnya menyusun konsep ekonomi pasar sosial. Mereka menyusun sebuah program ekonomi neo-liberal dengan tujuan untuk mencapai sebuah tata ekonomi yang bebas berperikemanusiaan dan efisien. Konsep ekonomi ini menolak Laissez-faire, sistem ekonomi dengan perencaan pusat maupun sistem intervensi yang hantam kromo dengan tanpa konsep yang jelas. Konsep ekonomi baru tersebut mereka namakan “ekonomi pasar sosial”. Sistem tersebut yang pada mulanya masih terdengar sedikit aneh dapatlah diklasifikasikan sebagai sebuah program ekonomi baru yang berlandaskan ekonomi pasar dan yang secara sadar memperhatikan masalah-masalah sosial.2. Konsep teoretis mengenai ekonomi pasar sosialTujuan dari sistem tersebut ialah kebebasan ekonomi dan keadilan sosial. Kebebasan dari setiap warga pelaku ekonomi dalam sebuah negara hukum-yang merupakan bagian dari kebebasan politik-merupakan penggerak utama dari program, yang dirancang oleh founding fathers ekonomi pasar sosial. Mereka telah mengalami sendiri bahwa kebebasan dan kemerdekaan setiap individu tidak saja ditindas oleh sistem ekonomi dengan perencanaan pusat tetapi juga oleh sistem Laissez-faire. Kebebasan itu dirusak apabila negara atau masyarakat memiliki kekuasaan mutlak atau juga apabila seseorang atau sebuah perusahaan mempunyai kebebasan mutlak.Tata ekonomi pasar sosial harus melindungi kebebasan warganegara terhadap dua pihak yaitu terhadap kesewenang-wenangan dari pihak negara namun juga terhadap kesewenang-wenangan yang dibuat oleh individu-individu lain atau perusahaan-perusahaan lain.Para konseptor ekonomi pasar sosial yakin bahwa sebuah tata ekonomi yang berjalan lancar dan manusiawi tidak muncul secara kebetulan namun dia membutuhkan tata-tertib perekonomian yang baik. Walter Eucken mengatakan bahwa penyusunan tata-tertib perekonomian bukan saja merupakan tugas yang legitimate tetapi malah merupakan kewajiban yang mutlak perlu dari negara.Tata ekonomi pasar sosial bukanlah sekedar ekonomi pasar yang biasa saja. Namun ekonomi pasar sosial merupakan bingkaian pengaturan pasar yang berintegrasi dengan elemen-elemen sosial. Agak sulit untuk mendefinisikan ekonomi pasar sosial secara ringkas. Namun Mueller Armarck mengatakan: “Makna utama dari ekonomi pasar sosial ialah mengkombinasikan kebebasan pasar dengan keadilan sosial” (1974, hal. 163). Dalam sebuah tulisannya kemudian beliau melukiskan bahwa “ekonomi pasar sosial merupakan sebuah usaha untuk membangun sebuah sintesa yang sungguh-sungguh antar pasar dan jaringan sosial dimana kemampuan dan kekuatan pasar menanggung program jaminan sosial dan sebaliknya jaminan sosial menjamin keberhasilan dan kelanjutan dari kekuatan-kekuatan pasar” (1976, hal 243).Pasar sebagai dasar dari sistemPada saat konsep ekonomi pasar sosial sedang digagas, yaitu pada tahun-tahun pertama setelah perang dunia II usai keadaan di Jerman ditandai oleh berlakunya ekonomi terpimpin yang kacau balau dan kemiskinan yang sangat memprihatinkan. Pendapat umum yang beredar pada waktu itu ialah apabila diadakan penyempurnaan pada sistem ekonomi terpimpin maka keadaan yang jelek itu akan diperbaiki. Terhadap anggapan umum ini para penggagas ekonomi pasar sosial menjawab bahwa dasar dari konsep mereka ialah PASAR. Berkali-kali mereka menyatakan, bahwa bukan dengan perencanaan yang terpusat oleh negara tetapi hanya melalui proses pasar setiap orang memperoleh kemerdekaan dan kemandirian dan sekaligus akan mendapatkan hasil ekonomi yang lebih baik. “Yang terutama ialah bahwa mekanisme harga diberi keleluasaan”, demikian Eucken (1959, hal 160).Jadi pada waktu permulaan diperkenalkannya ekonomi pasar sosial yang terutama dipikirkan ialah bagaimana menciptakan dan menghidupkan pasar bebas. Hal-hal mengenai “komponen sosial” belum terlalu dipikirkan, (ini terjadi di Jerman tahun 1948-1950). Karena penggagas ekonomi pasar sosial selalu menekankan pasar bebas maka para pengritik menuduh bahwa mereka ingin memberlakukan lagi sistem Laissez-faire dari abad ke-19.Yang membedakan konsep ekonomi pasar sosial dengan sistem Laissez-faire ialah bahwa dalam sistem baru ini negara tidak lepas tangan dari kebijaksanaan ekonomi. Dalam sistem ekonomi pasar sosial negara mendapat tugas baru yaitu kewajiban menata kebijaksanaan ekonomi (Ordnungspolitik).Kebijakan Menata Ekonomi: Negara menata tata tertib ekonomiHarus dibedakan antara tata tertib ekonomi dan proses ekonomi. Yang dimaksud dengan tata tertib ekonomi ialah UU dan peraturan serta institusi-institusi yang diperlukan untuk mengatur kegiatan-kegiatan ekonomi swasta yang legal. Sedangkan yang dimaksud dengan proses ekonomi ialah semua kegiatan bisnis nyata yang dijalankan oleh para pelaku ekonomi swasta seperti: membeli, menjual, investasi, membuat segala macam kontrak atau perjanjian. Ekonomi pasar sosial sangat berbeda baik dengan sistem Laissez-faire maupun dengan sistem ekonomi terpusat pada negara (ekonomi terpimpin).Dalam sistem ekonomi terpimpin semuanya ditentukan oleh negara baik tata tertib ekonomi maupun proses ekonomi sehari-hari. Sedangkan dalam sistem Laissez-faire pihak negara sama sekali tidak berurusan dengan tata tertib ekonomi maupun proses ekonomi. Sebaliknya dalam ekonomi pasar sosial pihak negara bertugas menata tata tertib perekonomian. Sedangkan kegiatan ekonomi sehari-hari dibiarkan menjadi urusan para subjek ekonomi swasta dan tidak secara langsung dipengaruhi oleh negara.Jadi negara tidak boleh menjauhkan diri dari urusan ekonomi. Yang harus dibuat negara ialah apa yang menjadi tugasnya serta tugas itu harus dijalankan secara wajar. Jadi negara tidak boleh tampil sebagai pengusaha atau produsen, juga negara tidak boleh mendikte para pengusaha tentang apa yang harus diproduksi dan untuk siapa mereka memproduksi. Namun tugas pokok negara ialah secara konsisten menata tata tertib ekonomi dan mengawasi pentaatannya sesuai sistem politik yang demokratis.Kebijakan menata tata tertib ekonomi merupakan tugas utama negara. Negara berkewajiban menyusun “aturan main” untuk kegiatan ekonomi melalui undang-undang yang terkait dan negara berkewajiban untuk menjaga agar para pelaku ekonomi mentaati dan bukannya melanggar aturan main tadi. Untuk tugas negara tersebut perlu kerja sama yang erat antara pakar ekonomi dan ahli hukum.Tata tertib ekonomi dan tata tertib hukum harus harmonis satu sama lain dan sesuai dengan sistem politik negara yang demokratis. Kebijakan ekonomi negara harus serasi dengan tata tertib di bidang lain. Hal lain yang juga amat penting ialah bahwa tujuan dari ekonomi pasar sosial bukan hanya sekedar begitu saja menciptakan ekonomi pasar dan menjamin kelangsungannya namun yang akan diciptakan ialah sebuah ekonomi pasar yang khusus untuk mengatur tata persaingan bagi proses pasar. Menjaga persaingan bebas merupakan salah satu tugas terpenting dari negara di bidang ekonomi. Eucken membagi elemen-elemen penting untuk tata tertib persaingan dalam beberapa “prinsip-prinsip konstitututip” dan “prinsip-prinsip pengaturan”.Kebijakan tata ekonomi harus menjamin prinsip-prinsip konstitutip yaitu: stabilitas mata uang, kebebasan memasuki pasar, hak milik pribadi, kebebasan membuat perjanjian, menanggung resiko dan kepastian politik ekonomi.Kebijakan stabilisasi dan Aturan bagi “Intervensi Liberal”Para penggagas ekonomi pasar sosial menuntut diutamakannya penataan tata tertib ekonomi. Apabila penataan dikerjakan dengan baik maka intervensi untuk stabilisasi tidak perlu sama sekali. Namun kegiatan negara tidak boleh hanya dibatasi pada urusan menata ekonomi saja. Eucken menambahkannya dengan “prinsip-prinsip yang mengatur” guna mencapai persaingan yang berjalan dengan baik. Prinsip-prinsip yang mengatur tersebut termasuk kebijakan anti monopoli, politik dibidang sosial dan kebijakan stabilisasi atau politik konjunktur, yang dibutuhkan untuk menghindari ekses-ekses atau ketimpangan ekonomi dan dengan demikian merupakan tambahan bagi kebijakan tata ekonomi. Mueller-Armack dan Roepke menekankan hal ini, bahkan keduanya secara dini yakni pada tahun 1950-an telah mengemukakan pentingnya kebijakan negara dibidang perlindungan lingkungan.Kebijakan stabilisasi proses ekonomi tidak boleh diartikan sebagai kebebasan negara untuk mengadakan intervensi atau campur tangan yang semena-mena. Karena hal ini ditentang oleh semua penggagas ekonomi pasar sosial. Maka dari itu dibuatlah prinsip-prinsip umum bagi pengaturan intervensi negara. Roepke memberikan formulasi sebagai di bawah ini:1. Intervensi-intervensi dalam proses pasar harus menunjang kekuatan-kekuatan pasar dan bukan malah merusaknya. Contoh: Subsidi untuk mempertahankan hidup sebuah perusahaan ditolak, namun subsidi untuk penyesuaian struktur dibenarkan (prinsip-konformitas sistem).2. Intervensi yang sesuai dengan mekanisme pasar harus dimenangkan terhadap intervensi yang mengganggu mekanisme pasar dan intervensi yang melumpuhkan sistem harga (prinsip konformitas pasar) (Roepke 1981, hal 229 dst.)“Pasar Sosial” dan pembagian sosial dari hasil-hasil pasarSekarang kita ajukan pertanyaan, apakah yang dimaksud dengan “komponen-komponen sosial “ dari ekonomi pasar sosial? Apakah yang dimaksud itu “pasarnya yang sosial” atau pembagian penghasilan atau pendapatan, yang dihasilkan dalam proses pasar?Para Bapak ekonomi pasar social menekankan kedua aspek itu. Mereka mengatakan bahwa ekonomi pasar itu secara intrinsic bersifat “sosial” bila dibandingkan dengan ekonomi terpimpin dari pusat. Karena ekonomi pasar meningkatkan produktivitas, dengan demikian “kue” yang dihasilkan untuk dibagi-bagikan juga menjadi lebih besar. Juga ekonomi pasar memberi kemerdekaan dan kebebasan dan banyak alternatip untuk dipilih bukan saja bagi para pengusaha tapi juga untuk kaum buruh dan konsumen.Apabila orang berhasil mengganti sistem ekonomi terpimpin menjadi ekonomi pasar, maka hal itu sudah merupakan sumbangan yang penting untuk penyelesaian “masalah sosial yang baru”. Eucken mendefinisikan “masalah sosial yang baru” dalam abad ke-20 sebagai berikut :”Si buruh-dan bukan saja si buruh-menjadi tergantung pada mesin birokrasi negara dan institusi-institusi publik yang lain” (1981, hal. 331).Prof. Ludwig Erhard (yang kemudian menjadi menteri ekonomi Jerman) pada tahun 1948 dengan penuh emosi melukiskan ketergantungan pada negara dalam sistem ekonomi terpimpin sebagai berikut: “Siapa yang sekarang berani membantah bahwa dalam sistem ekonomi paksa yang kini kita hadapi ….. baik di bidang produksi maupun di bidang konsumsi bahwa kaum lemah dan miskinlah yang paling menderita, dan bahwa kelompok sosial inilah dari bangsa kita yang paling membenci sistem itu, karena dia telah menindas dan membuat mereka berputus asa” (1981, hal.40). Orang-orang dari bekas Jerman Timur akan setuju dengan penilaian diatas terhadap sistem ekonomi terpimpin.Keunggulan sosial ekonomi pasar atas ekonomi terpimpin akan makin besar apabila persaingan dijalankan dengan berhasil. Tidak cukup apabila orang hanya berhasil membebaskan manusia dari penghisapan oleh mesin negara. Harus juga dihindari bahwa ada kekuatan ekonomi swasta yang mengexploitir (menghisap) anggota masyarakat lainnya. Kebijakan persaingan yang menghapus rintangan masuk ke pasar, kartel serta pembatasan-pembatasan persaingan lainnya, merupakan hal yang penting dipandang dari segi sosial.Konsep ekonomi pasar sosial tidak saja mengacu pada keuntungan “sosial” yang inherent dari sistem ekonomi pasar yang efisien. Dia juga mengharuskan adanya suatu politik/ kebijakan sosial negara dalam arti sempit yaitu pembagian ulang pendapatan yang diperoleh dari kegiatan ekonomi di pasar (perbedaan kata Jerman “Verteilung” dan “Umverteilung”). Umverteilung itu membagi setelah memungut pajak.Pada saat usai perang dunia II di Jerman ada banyak sekali orang yang menderita kesengsaraan, maka kebijakan ekonomi juga tertuju pada usaha meringankan beban masyarakat tersebut (di Indonesia bagaimana?). Bantuan subsidi bagi keluarga miskin serta bantuan-bantuan sosial lainnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem ekonomi pasar sosial. Dan prinsip dasar keadilan sosial ini berlaku terus hingga kini, disaat penderitaan rakyat Jerman ditahun-tahun pertama setelah perang sudah diatasi sama sekali.Namun yang harus dicamkan sekali lagi ialah bahwa dalam konsep ekonomi pasar sosial unsur yang dominan atau terutama ialah ekonomi pasar. Kebijakan sosial baru menyusul pada langkah yang kedua. Mula-mula kemakmuran harus dicapai secara efisien baru setelah itu orang dapat membaginya. Kebijakan sosial dibutuhkan untuk menutup “celah” yang ditinggalkan oleh proses ekonomi, untuk memberi bantuan bagi kaum yang lemah, namun subsidi negara tidak boleh dihamburkan secara sembrono.Konsep ekonomi pasar sosial tidak menghendaki terciptanya sebuah “welfare state” yang sempurna karena dengan demikian inisiatip orang perorangan dihalangi, ekonomi bekerja tidak efisien dan “sistem Skandinavia” itu juga tidak sosial/adil. Hal ini sering dilupakan dimasa ini, juga dalam diskusi mengenai dipertahankannya “puncak-puncak keberhasilan sosialisme” di Jerman bagian Timur.Satu hal yang penting sehubungan dengan kebijakan sosial ialah sebagai berikut. Dalam hal ini orang tidak boleh lupa pada prinsip keserasian dengan hukum pasar. Kebijakan pencarian keadilan (politik sosial) dengan memperbaiki hasil-hasil proses pasar melalui pengenaan pajak dan pembagian ulang pendapatan oleh negara harus dilakukan pada akhir proses tersebut (Kue harus dibikin dulu lalu dibagi-bagi). Namun politik sosial tidak boleh mematikan ekonomi pasar melalui intervensi langsung pada mekanisme harga seperti menentukan upah minimum, tarif sewa rumah tertinggi atau kebijakan penetapan harga secara birokratis lainnya (contoh tarif listrik, telepon dan harga bensin). Sejak dari permulaan (1947) Mueller-Armack telah menekankan prinsip ini secara gamblang sebagai berikut: “Tujuan utama ialah terciptanya ekonomi pasar yang bebas dengan dilengkapi oleh usaha-usaha pengamanan sosial, yang harmonis pula dengan ekonomi pasar itu sendiri” (1947, hal 84).3. Ekonomi pasar sosial dalam praktek politik: Arti prinsip dan bahaya dari sistem terbukaKonsep teori tentang ekonomi pasar sosial tidak pernah dirumuskan secara terperinci Erhard dan Mueller-Armack merumuskan ekonomi pasar sosial sebagai suatu sistem yang terbuka. Sesuai dengan situasi dan kondisi tekanan dapat berubah-ubah, harus dijaga bahwa perubahan-perubahan dan tambahan dapat saja di buat. Namun prinsip-prinsip dasar dari sistem atau “essentials” harus tetap dipertahankan. Prinsip-prinsip dasar ini sering dijumpai dibanyak diskusi tentang sistem ekonomi Jerman. Namun hal itu dapat dirumuskan sebagai berikut:1. Pasar harus secara bebas menuntun keputusan-keputusan ekonomi. Jadi bukan oleh sistem perencanaan yang terpusat.2. Melindungi persaingan bebas adalah tugas utama negara.3. Akses kepasar harus selalu terbuka, juga bagi pelaku bisnis asing.4. Penataan tata tertib ekonomi adalah lebih penting daripada intervensi pada proses pasar.5. Dalam melakukan intervensi maka prinsip keserasian sistem dan keserasian pasar harus tetap dijaga.6. Kebijakan sosial (keadilan) tidak boleh dicapai dengan intervensi pada proses pasar, namun harus dicapai melalui pembagian hasil dari proses pasar.Daftar katalog prinsip dasar diatas dipakai sebagai panduan atau “blue print” guna mengukur atau menguji setiap kebijakan ekonomi yang dijalankan oleh pemerintah. Hal ini dapat dilakukan oleh pers, pakar ekonomi penasehat pemerintah Jerman, oleh bank sentral yang mandiri dan oleh Direktorat Prinsip Dasar dari Kementerian Ekonomi Jerman.Walaupun ada daftar katalog tersebut namun dalam kenyataannya ada saja kebijakan ekonomi yang tidak sesuai dengan teori ekonomi pasar sosial. Sebagai contoh dari penyimpangan tersebut dapatlah disebutkan bantuan dan penetapan harga yang diberikan pada industri batubara dan baja pada tahun 1950-an, pengaturan pasar modal, kebijakan disektor perumahan dan pertanian Jerman dan pasar bersama Eropa serta peningkatan bagian negara pada produk nasional Jerman ditahun 1970-an. Namun telah 50 tahun hingga kini prinsip-prinsip dasar ekonomi pasar sosial ini umumnya telah berfungsi dengan baik sebagai alat penilai. Pemerintah Jerman dipaksa untuk memberi penjelasan mengapa tidak mentaati dengan baik prinsip-prinsip ekonomi pasar sosial, apabila kebijakan ekonominya menyimpang.Pihak yang mengkritik kebijakan pemerintah dapat berpegang pada ajaran ekonomi pasar sosial dan menuntut pemerintah supaya kembali ke prinsip-prinsip tadi, walaupun tidak selamanya berhasil. Namun peran prinsip-prinsip dasar ekonomi pasar sosial dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat diabaikan begitu saja. Politik ekonomi pemerintah Jerman cukup lama berjalan sesuai dengan ajaran ekonomi pasar sosial, terutama disaat Menteri Ekonomi Erhard dan Sekretaris Negara Mueller-Armack memegang kendali kebijakan. Selama tahun 1950-an dan paruh pertama tahun 1960-an fungsi penataan kebijakan ekonomi (Ordnungspolitik) berada diurutan utama. Sebagai contoh dikemukakan pemberlakuan UU anti monopoli dan keengganan pemerintah dalam mengendalikan permintaan pasar.Walaupun Erhard dan Mueller-Armack berlatar belakang sebagai pakar di bidang politik konjunktor, namun sedikit sekali kebijakan diambil dibidang itu, yang terutama berlandaskan pada politik moneter. Erhard sedikit sekali menggunakan kebijakan itu karena dia lebih mengandalkan “moral suasion” dari pada mengambil langkah-langkah moneter tertentu. Erhard dan Mueller-Armack juga membawa sistem ekonomi pasar sosial kemasyarakat Uni-Eropa sehingga membuat Jerman hingga kini berperan sebagai “Pelindung Ekonomi Pasar” dalam asosiasi regional tersebut.Secara keseluruhan dapatlah disebutkan bahwa Erhard dalam prakteknya menjalankan kebijakan ekonomi sedemikian rupa dengan mengusahakan negara berfungsi sebagai “wasit yang tidak memihak”, yang menentukan aturan main dan hanya pada keadaan yang luar biasa baru mengadakan intervensi. Setiap tekanan dari kelompok kepentingan agar negara melakukan intervensi sesuai selera mereka selalu ditolak Erhard. Dalam hal ini prinsip-prinsip ekonomi pasar sosial berfungsi seperti peraturan-peraturan perdagangan GATT yakni mendukung pemerintah agar bersikap tegas terhadap desakan dari kelompok kepentingan yang menuntut perlindugan terhadap persaingan bebas. Namun Erhard dan terutama lagi para penggantinya terpaksa menyadari bahwa dalam sebuah negara dengan sistem demokrasi perwakilan adalah sangat sulit untuk merealisasikan cita-cita sebuah negara “yang kuat dan tidak memihak” sebagaimana digariskan oleh ekonomi pasar sosial, (Dalam hal ini para penggagas konsep ekonomi pasar sosial sering dikritik sebagai “orang buta secara sosiologis”).Dalam kenyataan harus diakui bahwa negara atau kebijakan ekonomi sama sekali tidak bebas dari pengaruh kelompok kepentingan, yang menggunakan segala cara yang dihalalkan oleh sistem demokrasi perwakilan. Justru karena sifat ekonomi pasar sosial yang “terbuka” itulah maka pihak kelompok kepentingan memanfaatkannya untuk menarik dukungan negara (terutama finansial) bagi kepentingan golongannya.Perlu dicatat bahwa sistem ekonomi pasar sosial bukan hanya terdiri atas prinsip-prinsip yang tegas. Dia juga mengenal pengecualian-pengecualian dari prinsip tadi (walaupun tidak sebanyak seperti pada GAAT). Kebijakan menata tata tertib ekonomi menduduki tempat utama, namun dalam situasi perekonomian tertentu negara dapat juga menjalankan kebijakan pengendalian permintaan pasar (malah negara harus melakukan hal tersebut). Intervensi negara secara apriori tidak dilarang. Untuk situasi tertentu intervensi diperlukan, walaupun harus dilakukan secara berhati-hati. Juga intervensi yang tidak serasi dengan hukum pasar pada kenyataannya dijalankan dalam keadaan sulit. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila pihak-pihak yang mewakili kelompok kepentingan selalu berusaha sekuat tenaga untuk mencapai cita-citanya dengan mengemukakan bahwa golongan mereka sungguh berada dalam posisi “terjepit”.Yang mengherankan ialah bahwa ancaman terhadap sistem ekonomi pasar sosial tidak berasal dari jajaran birokrasi negara Jerman. Malah pembela utamanya ialah pegawai negeri yang bekerja di kementerian perekonomian. Mereka selalu menangkis serangan dari pihak kelompok kepentingan dan selalu berjuang mempertahankan prinsip-prinsip ekonomi pasar sosial dan dalam hal ini para pejabat itu mencari dukungan dari dunia pers dan perguruan tinggi. Para pejabat kementerian menyadari bahwa bahaya “keterbukaan “ sistem ekonomi pasar sosial hanya dapat dihindari apabila mereka tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip tadi. Oleh karena itu para pejabat departemen ekonomi Jerman sering dicap bersifat dogmatis. Serangan itu berasal dari pihak kelompok kepentingan (lobby) yang sebenarnya menghendaki bahwa negara menjalankan kebijakan ekonomi secara pragmatis tanpa prinsip. 4. Pelaksanaan ekonomi pasar sosial oleh kekuatan-kekuatan politik Antara konfrontasi dan konvergensiMueller-Armack pernah menyatakan bahwa ekonomi pasar sosial merupakan “formula yang irenis” yakni prinsip yang membawa damai, yang dapat menyeimbangkan kepentingan berbagai kelompok masyarakat dan kekuatan politik. Hal ini disebabkan karena sistem ekonomi pasar sosial sifatnya “terbuka”. Dalam kenyataan sistem terbuka tersebut membuat ekonomi pasar diterima semua orang.Ekonomi pasar sosial tidak memberikan peraturan-peraturan yang kaku tetapi sistem itu berlangsung secara “terbuka” dan dapat menyesuaikan diri dengan keadaan. Hal inilah yang membuat sistem ekonomi pasar sosial dapat diterima oleh berbagai kekuatan masyarakat atau partai politik. Keterbukaan sistem ekonomi tersebut memberi peluang bagi masing-masing kekuatan politik untuk menitik beratkan perhatiannya pada salah satu aspek dari sistem tersebut. Sistem ekonomi pasar sosial dalam kenyataannya memberikan garis-garis umum kebijakan yang dapat memungkinkan tiap orang untuk membuat interpretasi sendiri.Di Jerman telah terjadi kesesuaian paham tentang ekonomi pasar sosial baik dalam perumusan kebijakan maupun dalam pelaksanaan. Namun hal ini tidak merobah sistem secara keseluruhan. Pengintegrasian berbagai kekuatan politik dalam sistem ekonomi pasar sosial telah menggeser tekanan dari prinsip-prinsip tegas beralih kepemberian pengecualian-pengecualian seperti disebutkan diatas tadi (Hal yang sama juga terjadi dalam organisasi masyarakat Eropa). Setelah 25 tahun konvergensi politik di Jerman maka banyak aspek dari sistem ekonomi negeri itu berubah dari konsep awal. Prinsip-prinsip “konstitutif” yang sangat dijunjung tinggi para pendiri ekonomi pasar sosial telah terpinggirkan oleh kebijakan-kebijakan ekonomi masa kini. Perkembangan ini dapat dilukiskan sebagai berikut.Pada saat Ludwig Erhard memperkenalkan sistem ekonomi pasar sosial sebagai kebijakan ekonomi tahun 1948 secara politis dia hanya mendapat dukungan kecil bangsa Jerman. Malah partai Erhard sendiri yaitu Partai Kristen Demokrat (PKD) tidak sepenuhnya mendukung konsep ekonomi pasar sosial. Waktu itu bagian besar PKD menganut paham “anti kapitalis” berarti menentang sistem ekonomi pasar. Kelompok ini mendukung “perjuangan kekaryaan” (perjuangan kaum fungsional) atau malah mengiktiarkan experimen-experimen sosialistis seperti nasionalisasi industri batubara dan baja serta perbankan. Kaum liberal dari partai FDP mendukung Erhard namun lebih mementingkan ekonomi pasar “bebas” dan enggan terhadap unsur “sosial” di dalamnya.Kaum sosialis dari partai SPD pada saat itu dengan tegas menentang ekonomi pasar sosial. Mereka saat itu masih teguh memegang tradisi marxis serta menuntut sistem perencanaan ekonomi yang menyeluruh, sistem penjatahan (sistem kupon) dan pengawasan harga serta nasionalisasi “industri strategis”. Serikat buruh Jerman waktu itu juga bercita-cita sama dengan partai SPD. Tahun 1949 serikat buruh menerbitkan program kerja yang disebut manifesto sosialisme, walaupun dalam organisasi itu bergabung juga organisasi buruh Kristen.Jadi pada saat dimulainya ekonomi pasar sosial telah terjadi konfrontasi politik yang sengit. Dan keadaan itu berlangsung beberapa waktu lamanya. Kontroversi mengenai ekonomi pasar sosial mewarnai Pemilu pertama dan kedua Jerman. Konrad Adenaner, ketua umum PKD mengangkat konsep Erhard tentang ekonomi pasar sosial menjadi program partai dan memenangkan Pemilu pertama September 1949. Pada Pemilu kedua 1953 PKD malah mencapai kemenangan mutlak. Walaupun pada saat itu belum tercapai konvergensi (kesepahaman) antar parpol namun para pemilih umumnya sudah sepakat mendukung ekonomi pasar sosial.Namun jangan dilupakan bahwa dukungan terhadap ekonomi pasar sosial dikalangan PKD tidaklah sepenuhnya utuh. Hal ini disebabkan karena PKD bukanlah sebuah partai yang monolitik tetapi merupakan uni (gabungan) dari beberapa kelompok kepentingan (faksi). Jadi agar program ekonomi pasar sosial diterima menjadi program partai maka secara internal perlu sosialisasi agar tercapai konvergens (kesesuaian paham) dalam partai tersebut. Hal ini hanya dapat tercapai apabila kepentingan-kepentingan berbagai faksi dalam PKD dapat dipenuhi. Berikut ini diberikan dua contoh :1. Dukungan sayap kiri PKD yang terdiri dari serikat buruh Kristen dapat diperoleh apabila komponen-komponen sosial dari sistem ekonomi pasar sosial lebih dikedepankan. Sebagai contoh dapat dikemukakan perluasan undang-undang sosial tahun 1950-an.2. Sayap kanan PKD yang merupakan sayap pengusaha dari partai tersebut mula-mula menolak dengan keras usaha Ludwig Erhard dalam menyusun undang-undang anti gangguan persaingan (undang-undang anti monopoli), salah satu prinsip dasar ekonomi pasar sosial. Baru setelah perdebatan internal partai yang panjang selama 8 tahun undang-undang anti monopoli disahkan tahun 1957 dengan konsesi besar dari sayap kanan PKD terutama dalam hal yang menyangkut masalah kartel (aliansi usaha).Yang menarik ialah bahwa dalam masalah kartel Menteri Ekonomi Erhard untuk pertama kali dalam sejarah mendapat dukungan kaum sosialis dari partai SPD dan merupakan pertanda pertama adanya konvergensi antara dua parpol besar tentang ekonomi pasar sosial. Akan tetapi baru setelah mengalami kekalahan besar dalam Pemilu untuk ketiga kalinya tahun 1957 barulah kaum sosialis dalam partai SPD “banting stir” dengan merumuskan kembali program partai yang disebut “Program Godesberg” dimana partai SPD akhirnya berdamai dengan ekonomi pasar sosial (dan agama-agama).Dalam Pemilu 1961 karena terdesak maka Erhard merasa perlu untuk mengklaim dirinya sebagai “pemegang merek” ekonomi pasar sosial. Hal ini disebabkan karena dalam kampanye Pemilu musim itu pihak sosialis dari partai SPD mengaku bahwa mereka lebih baik dan lebih konsekwen menjalankan sistem ekonomi pasar sosial dari lawannya di partai Kristen dari Erhard.Serikat Buruh Jerman (DGB) juga mengikuti kaum sosialis dalam merobah sikapnya, namun hanya untuk batas-batas tertentu. Dalam program kerja serikat buruh tahun 1963 banyak elemen sosialis tahun 1949 dibuang. Namun istilah ekonomi pasar sosial belum dimasukkan kedalam program kerja serikat buruh yang baru tersebut. Puncak dari kesepakatan atau konvergensi dicapai tahun 1967 pada saat PKD membentuk pemerintahan koalisi bersama SPD dengan menyingkirkan partai liberal FDP sebagai pihak oposisi. Karena koalisi itu melibatkan dua partai besar maka koalisi itu disebut “koalisi besar”. Dalam koalisi tersebut untuk pertama kali seorang sosialis yaitu Prof. Karl Schiller menjadi menteri ekonomi. Kesepakatan politik tersebut tidak akan tercapai apabila tidak ada pergeseran prioritas dalam sistem ekonomi pasar sosial yang terkenal “terbuka” itu.Menteri ekonomi yang baru Prof. Karl Schiller lebih mengutamakan pengendalian permintaan pasar ala Keynes untuk mempengaruhi secara langsung proses ekonomi dari pada hanya menjalankan kebijakan penataan ekonomi (Ordnungspolitik). Beliau menekankan pengaruh kebijakan fiskal dalam mengendalikan permintaan dan memperluasnya dengan apa yang saat itu terkenal dengan istilah “aksi terkonsentrasi atau terpadu” yakni semacam kebijakan atau politik pendapatan melalui “moral suasion”.Kebijakan ekonomi makin lama dipandang sebagai apa yang “dapat diatur”, yang lebih menekankan “policy making”. Negara, dalam hal ini pemerintah harus merencanakan agregat-agregat makro-ekonomis, proses pasar harus hanya menentukan relasi-relasi mikro-ekonomis dalam kerangka makro-ekonomis yang telah direncanakan sebelumnya. Politik ekonomi semacam ini tentu saja telah menyimpang jauh dari prinsip-prinsip dasar ekonomi pasar sosial. Karena sistem ekonomi pasar sosial memprioritaskan kebijakan menata tata tertib ekonomi (Ordnugspolitik) dari pada pengendalian proses ekonomi. Sistem tersebut juga menghendaki negara menata peraturan dan paket-paket undang-undang bagi kegiatan ekonomi pihak swasta dan menolak perencanaan negara atas kegiatan pasar walaupun hanya pada tingkat makro.Pada saat dibentuknya pemerintah koalisi baru tahun 1969 antara partai sosialis SPD dan liberal FDP nyata benar bahwa suasana kesepakatan (konvergensi) dibidang politik ekonomi berakhir dan mulailah satu era baru dengan pertentangan-pertentangan tajam (divergensi) dibidang kebijakan ekonomi. Setelah musim pemberontakan mahasiswa tahun 1968 bangkitlah ide-ide marixs dan sosialis di wilayah Jerman Barat waktu itu sebagai ide-ide yang modern dan digemari bukan oleh kaum buruh tapi oleh kaum intelektuil. Pemerintahan baru pimpinan Willy Brand menyesuaikan diri dengan mode kaum intelektuil tersebut dan menggelar slogan-slogan seperti “sosialisme demokratis” dan “reformasi masyarakat”.Sistem ekonomi pasar sosial secara resmi tidak dihapus namun mulai diracuni oleh virus-virus sosialisme. Hal ini dapat dilihat dengan membengkaknya porsi negara pada penghasilan nasional, negara mendapat tugas-tugas baru yang “produktif”, pajak dinaikkan, program-program sosial diperluas (tanpa memperhitungkan bagaimana membiayainya), pemerintah menjamin tidak akan ada penggangguran.Bulan Juli 1972 Prof. Schiller tidak lagi bersedia untuk ikut serta menjalankan politik tersebut. Sebagai protes beliau meletakkan jabatan Menteri ekonomi dan keuangan. Namun trend politik berkembang makin meruncing. Intervensi dan pengaturan oleh negara makin menjadi-jadi, insentif untuk kegiatan ekonomi dimatikan, keuntungan dunia usaha makin diperas oleh pajak yang tingggi, malah pemerintah mulai memikirkan untuk mengawasi kegiatan investasi. Nyata benar bahwa politik perekonomian pemerintah Jerman makin menjauh dari prinsip-prinsip ekonomi pasar sosial. Juga pihak serikat buruh karena dipengaruhi oleh kaum intelektuil kiri merevisi kembali sikap mereka yang terbuka terhadap sistem ekonomi pasar sosial.Dalam program kerja serikat buruh tahun 1981 muncul kembali unsur-unsur sosialis dan radikal. Secara keseluruhan dapatlah dikatakan bahwa periode tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an telah ditandai oleh meningkatnya beda pendapat (divergens) bahkan polarisasi yang tajam tentang kebijakan perekonomian. Akibat dari kebijakan pemerintah yang anti ekonomi pasar ialah turunnya angka investasi secara drastis dan meningkatnya angka pengangguran. Pemerintah koalisi SPD-FDP pimpinan Kanselir Helmut Schmidt ternyata tidak mampu mengatasi kesulitan ekonomi tersebut.Tahun 1982 Partai Kristen Demokrat (PKD) kembali tampil memegang kemudi pemerintahan dengan berkoalisi bersama kaum liberal dari partai FDP. Koalisi partai-partai kanan ini menjanjikan sebuah perombakan politik terutama dalam kebijakan perekonomian dengan kembali kepada keaslian prinsip-prinsip ekonomi pasar sosial. Pemerintah baru Helmut Kohl (PKD) bersungguh-sungguh menghentikan arah politik perekonomian pemerintah lama. Porsi negara dalam penghasilan nasional tidak lagi diperluas tetapi malah diperkecil. Banyak rintangan bagi investasi, bagi penciptaan lapangan kerja dan bagi kegiatan dunia usaha, mulai dihapus. Beban pajak bagi perusahaan-perusahaan diringankan. Sebagai hasil perubahan kebijakan tersebut maka lapangan kerja bertambah dan pertumbuhan ekonomi meningkat. Keadaan perekonomian Jerman mulai ekspansi besar-besaran.Walaupun mengalami kemajuan namun kebijakan ekonomi pemerintah Kristen Demokrat dari Helmut Kohl mendapat kritik, bukan dari lawan politik tetapi dari para pendukung sistem ekonomi pasar sosial. Yang tergolong sebagai pengritik ialah para pakar ekonomi pemerintah dan para ahli yang tergabung dalam kelompok Kronberger. Kebijaksanaan ekonomi pemerintah dikritik karena tidak sepenuhnya kembali keprinsip-prinsip ekonomi pasar sosial. Prinsip-prinsip kurang diperhatikan, sedangkan yang lebih diperhatikan ialah pengecualian-pengecualian. Kritik terutama tertuju pada kebijakan ekonomi dan kebijakan sosial pemerintah. Dalam kebijakan ekonomi pemerintah dikritik karena tidak berani mengurangi bermacam ragam subsidi yang diberikan keperusahaan-perusahaan atau cabang ekonomi. Keadaan ini memalsukan keadaan pasar dan merusak persaingan.Di bidang sosial diakui bahwa sudah ada perbaikan-perbaikan yang berarti, namun hal itu lebih disebabkan oleh kesulitan keuangan daripada sebagai hasil langkah-langkah reformasi yang sungguh-sungguh. Baik di bidang ekonomi maupun di bidang sosial pemerintah kelihatannya ragu-ragu untuk mengambil langkah-langkah yang tidak populer guna kembali keprinsip-prinsip ekonomi pasar sosial yang sebenarnya. Dunia usaha dan rumah tangga telah terbiasa menikmati kenyamanan “pengecualian-pengecualian”.Juga dalam hal penyatuan kembali kedua Jerman, baik secara politis maupun ekonomis timbul lagi masalah-masalah yang sama. Baik penduduk maupun mayoritas politisi Jerman Timur menghendaki diberlakukannya ekonomi pasar sosial di wilayah mereka. Dengan diberlakukannya mata uang DM ke wilayah Jerman Timur maka usaha kearah itu di mulai. Juga di Jerman Timur kelihatan bahwa baik politisi maupun pengusaha memakai taktik yang sama yang sudah lama dikerjakan oleh para pe-lobby Jerman Barat, yaitu bahwa semua pihak menerima peraturan-peraturan ekonomi pasar sosial “secara prinsip”, namun untuk perusahaan sendiri atau sektor industri sendiri atau bagi kelompok pekerja tertentu orang menuntut pengecualian karena pada mereka katanya terjadi hal-hal yang tidak menguntungkan. Dengan demikian kita menyaksikan bahwa subsidi negara tetap saja mengalir keindustri-industri yang tidak kompetitip, pembayaran sosial tetap saja dibayar tanpa memperhatikan kondisi keuangan negara atau malah subsidi tersebut dinaikkan. Pemerintah diwajibkan menjamin lapangan kerja. Kekuatan ekonomi Jerman Barat dipakai sebagai sapi perahan untuk membiayai segala macam subsidi di Jerman Timur. Dalam hal ini orang melupakan bahwa kemakmuran hanya bisa dicapai apabila orang mendapat hasil dipasar berkat kerja keras.Apabila bermacam ragam subsidi tetap dibayarkan maka penyesuaian diri ekonomi Jerman Timur akan tetap ditunda dan kekuatan ekonomi Jerman Barat akan dihimpit oleh beban yang terlalu berat seperti di tahun 1970-an dan hal ini dapat berakibat fatal bagi kedua belah pihak. Dalam hal ini pemerintah Jerman menemui masalah, karena selama di Jerman Barat subsidi terus saja dibayar dengan murah hati dan dengan demikian prinsip ekonomi pasar sosial dilanggar maka bagaimana pemerintah bisa menolak permintaan subsidi di wilayah Jerman Timur. Hal ini sebenarnya tidak boleh terjadi.Dengan bergabungnya Jerman Timur sebenarnya pemerintah mendapat alasan untuk menghapus subsidi di Jerman Barat, sehingga semua perusahaan diperlakukan sama. Dengan demikian maka penyatuan kembali Jerman juga berarti terbuka peluang untuk kembali ke prinsip-prinsip dasar ekonomi para sosial atau dengan kata lain telah terjadi lagi kesepakatan (kovergens) baru atas dasar ekonomi pasar sosial. Namun sejauh itu keputusan belum dibuat.5. KesimpulanSebagai penutup baiklah dibuat beberapa kesimpulan mengenai pengalaman Jerman dengan sistem ekonomi pasar sosial sebagai berikut:a. Ekonomi pasar sosial telah membuktikan diri di Jerman sebagai sebuah sistem ekonomi yang bebas dan sekaligus berhasil baik. Keberhasilan ekonomi dapat menunjang program-program sosial yang luar biasa, yang belum pernah terjadi dalam sejarah Jerman. Kombinasi antara unsur-unsur ekonomi pasar dan kebijakan sosial rupanya telah membuat sistem itu diterima secara politis dan juga telah membawa peningkatan hasil ekonomis.b. Menurut konsep teoretis dan pelaksanaan dari ekonomi pasar sosial di Jerman dapat dikatakan bahwa sistem tersebut lebih dari sekedar pembatasan antara peran ekonomi swasta dan negara. Sistem itu terutama menunjukkan prinsip-prinsip bagi “gaya atau stile” dari kebijakan ekonomi sebuah negara. Para penggagas ekonomi pasar sosial terutama menekankan prinsip, bahwa negara menjalankan pengaruhnya atau kehidupan ekonomi tidak dengan intervensi yang langsung atas proses pasar tetapi hanya melalui penataan tata tertib ekonomi, undang-undang dan perangkat institusi yang mengatur kegiatan ekonomi. Kebijakan ekonomi dalam ekonomi pasar sosial terutama dijalankan melalui penataan tata tertib ekonomi. Pembatasan kualitatif atas kegiatan negara ini merupakan jaminan utama bagi kebebasan bergerak warga ekonomi atau pelaku ekonomi.c. Pengalaman Jerman menunjukkan bahwa karena “keterbukaan” sistem ekonomi pasar sosial maka mudah untuk menyatukan berbagai kekuatan politik dalam membuat konsep tentang tata ekonomi. Hal ini hanya mungkin terjadi karena ada kesediaan untuk berkompromi. Kesepakatan politik yang menghasilkan diterimanya ekonomi pasar sosial secara umum membawa perubahan dalam pelaksanaan pelaksanaan praktis ekonomi pasar sosial. Perubahan-perubahan tersebut telah menimbulkan penyimpangan atas prinsip-prinsip dasar sistem tersebut serta membawa bermacam-ragam pengecualian atau kelonggaran atas sistem ekonomi pasar sosial. Pada hal-hal tertentu malah prinsip-prinsip dasar tersebut terancam untuk dilanggar sama sekali. Keseimbangan antara tuntutan-tuntutan sosial dan insentip ekonomi pasar ternyata sulit untuk ditegakkan. Dalam proses penyatuan kembali Jerman timbul bahaya bahwa yang lebih dipentingkan ialah pembagian ulang penghasilan sehingga dengan demikian usaha keras untuk menciptakan penghasilan itu sendiri mengalami hambatan.d. Pengalaman Jerman akhirnya menunjukkan bahwa prinsip-prinsip dasar ekonomi pasar sosial telah berperan besar dalam kehidupan politik praktis (dimata kelompok yang berkepentingan peran itu tidak disukai). Politik sehari-hari harus dinilai dan dikritik atas dasar prinsip-prinsip tersebut. Hanya dengan bersikukuh pada prinsip-prinsip tersebut secara “dogmatis” maka kebijakan ekonomi dapat dipertahankan digaris yang benar. Mungkin dengan kesimpulan-kesimpulan yang ditarik dari pengalaman Jerman, pihak Indonesia dapat menarik manfaat dalam usaha keluar dari kesulitan-kesulitan yang menghadang sekarang. Mari kita berjuang bersama-sama.****************************

MASALAH DEMOKRASI, SOSIALISME DAN DUNIA KETIGA

MASALAH DEMOKRASI, SOSIALISME DAN DUNIA KETIGAProf. W.F. WertheimHersri (HS): Pak Wertheim, saya ingin mengajukan dua soal pokok. Terserah Pak Wertheim, mau memilih dari mana untuk menjawabnya. Soal pertama tentang Demokrasi, dan soal kedua tentang hari depan Sosialisme, tentu saja khususnya untuk Indonesia. Tentang Demokrasi, karena sebenarnya sudah menjadi kenyataan, bahwa Demokrasi Barat bukan jalan keluar. 'Demokrasi separoh suara tambah satu' sudah lama dibantah kenyataan sejarah. Tapi masalahnya mencari Demokrasi penggantinya masih belum berhasil. Sukarno pernah menawarkan dan mencobakan Demokrasi Terpimpin, tapi berakhir dengan malapetaka September 1965. Jadi dua tema itu, Pak Wertheim. Saya silakan, mulai dari mana.W.F. Wertheim (WFW): Dua tema itu termasuk dalam buku saya yang terbit bulan April tahun ini, yang berjudul Third World Whence and Whither. Dalam buku itu saya sangat menekankan beberapa hal, di mana saya sama sekali tidak setuju dengan hal-hal yang umumnya telah diterima begitu saja sebagai kebenaran yang sejati. Yang satu, bahwa Sosialisme sudah hancur dan Kapitalisme merupakan sistem yang paling baik untuk kemudian hari. Malah ada seorang Amerika tapi dengan nama Jepang, Fukuyama saya kira, yang menulis bahwa dalam tahun 1990 sudah terjadi apa yang disebutnya the end of historym. Jadi tidak usah pembangunan apa-apa lagi, karena sekarang semuanya sudah beres. Sejarah sudah habis. Jadi tidak ada perubahan apa pun yang diperlukan lagi. Itu yang pertama, yang dalam buku Third World Whence and Whither saya ingin membuktikan, bahwa pendapat tersebut sama sekali salah. Justru kita bahkan boleh berkata, bahwa pada saat ini Kapitalisme sama sekali bukan merupakan suatu sistem untuk membawa kesejahteraan. Khususnya untuk Dunia Ketiga, yaitu negeri-negeri melarat di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Sebaliknya sistem Sosialis masih perlu diikuti - tapi barangkali perlu dipikirkan Sosialis apa - supaya kesejahteraan di negeri-negeri tersebut dapat meningkat.Kedua, bahwa Demokrasi model Barat umumnya juga dianggapsebagai sistem yang harus diturut untuk membawa kesejahteraan bagi seluruh dunia. Juga dalam hal ini, dalam hubungannya dengan Dunia Ketiga, saya mempunyai banyak keberatan terhadap visi itu. Tapi barangkali boleh dikemukakan juga, bahwa bukan kebetulan jika dalam buku tersebut saya jelaskan, mengapa saya sama sekali tidak setuju terhadap teori yang umumnya sekarang dibela.Karena saya sudah belajar dari pengalaman, ketika saya menjadi Profesor Sejarah Indonesia dalam tahun 1946 di Universitas Amsterdam. Pada saat itu saya mempelajari buku-buku tulisan ahli-ahli lain. Saya perhatikan, bahwa semua ahli itu seringkali bukan mencari kebenaran sendiri, tapi hanya mengulang-ulang yang sudah dikatakan ahli-ahli lain. Misalnya saya baca, bahwa pada awal abad ke-20 seorang tokoh Etikus, Van Deventer, mengatakan, bahwa ada tiga hal yang selalu disebut-sebut sebagai harus dikembangkan di Hindia Belanda, sebagai inti dari 'politik etik', yaitu irigasi, edukasi dan emigrasi. Edukasi ialah pendidikan, dan emigrasi yaitu transmigrasi dari Jawa ke pulau yang kurang padat penduduknya.Begitulah yang selalu ditulis. Saya satu kali juga pernah ikut-ikutan menyebut dalam kuliah saya. Tapi kemudian saya pikir: Di mana Van Deventer pernah menulis begitu? Lalu saya cari. Ternyata itu tidak benar! Trias itu sama sekali tidak terdapat di dalam semua karangan Van Deventer. Ia kadang-kadang memang menyebut dua dari tiga sistem itu, tapi ada tiga atau empat hal lagi yang juga disebutnya sebagai sama penting. Dan dia tidak pernah mengatakan, bahwa yang ini paling penting dan yang itu kurang penting. Dan transmigrasi, misalnya, dalam karangannya yang pokoknya tentang politik etis itu, Van Deventer sama sekali tidak menyebutnya.Ada juga beberapa pengalaman lain pada waktu itu yang memberi pengertian pada saya, yaitu bahwa semua hal yang akan saya jelaskan, sebelumnya harus saya cek lagi. Apakah benar demikian? Jadi buku Third World Whence and Whither ini, seperti semua buku saya lainnya, bukan kesimpulan dari yang sudah umum diterima. Tapi saya selalu mencari, apakah benar atau tidak.Semua itulah yang saya belajar dari pengalaman sejarah pada awal abad ini. Tapi kecuali itu, ada juga yang dari pengalaman sejarah pada pertengahan abad.. Yaitu tentang Tiongkok. Di mana-mana sekarang orang menulis, bahwa dalam 'Maju Melompat Besar' telah terjadi sekitar 20-30 juta orang mati kelaparan. Ini di mana-mana, terus-menerus diulang-ulang. Jadi sebenarnya tanpa sadar, mereka itu sendiri sudah terlalu banyak percaya pada apa yang pernah diucapkanMao Zedong. Walaupun selamanya mereka itu sangat anti-Mao Zedong. Karena dalam tahun 50-an, yaitu dalam tahun 1957, saya bersama istri saya Hetty Wertheim Gijse Weenink, mengunjungi Tiongkok untuk pertama kali. Waktu itu diumumkan, bahwa pemerintah telah mengadakan sensus penduduk dalam tahun 1953. Jumlah seluruh penduduk Tiongkok ketika itu dicatat sebanyak 600 juta orang. Saya pikir, bahkan juga sebelum berkunjung ke Tiongkok, angka itu tidak masuk akal. Karena saya tahu, bahwa pada sekitar 15 tahun sebelumnya, di Tiongkok juga pernah diadakan sensus penduduk. Ketika itu jumlah yang dicatat tidak lebih dari sekitar 450 juta jiwa. Mungkin saja sedikit lebih banyak dari jumlah itu. Karena saya juga mempelajari demografi, maka saya tahu, bahwa di Dunia Ketiga hasil pencatatan sensus selalu lebih rendah dari angka yang sebenarnya. Tetapi boleh dikatakan pada waktu itu jumlah penduduk Tiongkok tidak lebih dari 500 juta orang. Karena itu pada waktu berkunjung ke Tiongkok tahun 1957, saya memutuskan untuk mencari hubungan dengan ahli demografi yang terkenal, yaitu Chen Ta. Dia selalu mengumumkan karangan-karangannya dengan nama Ta Chen. Di samping ingin bertemu dengannya, saya juga ingin bertemu dengan sosiolog yang sangat terkenal Fei Hsiao-tung. Pada tahun 1956 ada gerakan yang dipimpin Mao supaya 'seratus pikiran bersaing suara, dan seratus bunga mekar bersama'. Tapi dalam tahun 1957 sudah terjadi perubahan, oleh adanya gerakan dari atas yang anti-kaum kanan. Hal ini saya dengar sesudah di Tiongkok, ketika saya minta untuk bertemu dengan dua orang ahli tersebut. Permintaan saya tidak mungkin dipenuhi, karena dua ahli itu disebut sebagai orang-orang kanan, dan mereka harus mempertanggungjawabkan diri di dalam pemeriksaan. Begitu penjelasan seseorang dari Institut Filosofi yang datang pada saya tentang kedua ahli yang saya cari itu. Dikatakannya juga bahwa Chen Ta diperiksa, karena ia tidak mau menerima angka jumlah penduduk Tiongkok 600 juta, karena menurutnya angka itu terlalu tinggi. Di samping itu Chen Ta juga berpendapat, sistem sensus 1953 yang dipakai itu tidak ilmiah, dan ia bersedia ditugaskan untuk menyusun sistem yang lebih ilmiah.Menurut hemat saya pendapat Chen Ta itu masuk akal. Karena dalam situasi yang demikian buruk, dan dengan adanya pendudukan Jepang di sebagian besar wilayah Tiongkok serta terjadinya revolusi, tidak mungkin dalam periode yang sangat singkat jumlah penduduk naik begitu pesat. Itu memang tidak mungkin. Buat saya ini menjadi bukti, bahwa angka sensus tersebut hanya angka perkiraan. Pada saat sensus itu keadaan di Tiongkok, khususnya di selatan, belum tenteram, sehingga sensus yang sejati memang tak mungkin. Tentang kesimpulan saya ini sebenarnya sudah saya umumkan dalam banyakkarangan-karangan saya. Tetapi di negeri Belanda, pendapat saya itu tidak dipercaya. Karena sampai sekarang umum percaya pada angka 600 juta, yang pernah diumumkan pemerintah, dan yang selanjutnya mereka terus mempercayainya. Oleh sebab itu pula mereka pun mengatakan, ada kira-kira 20, 30 atau bahkan 40 juta orang telah mati kelaparan. Karena dalam sensus tahun 60-an ada sebanyak 20-30 juta orang tidak ditemukan lagi. Padahal menurut saya mereka itu tidak ditemukan, bukan karena telah mati karena lapar, tetapi karena memang sama sekali tidak pernah hidup.Dalam buku Third World Whence and Whither ini saya juga mengulangi lagi kesimpulan saya. Sebelumnya saya telah mencari bukti tentang semua data demografi yang mengatakan sekitar 30-40 juta manusia mati kelaparan; dan sebetulnya semua itu bertolak dari sensus penduduk tahun 1953. Ini hanya suatu contoh, bagaimana saya selalu mencoba mengontrol terhadap semua pendapat yang sudah diterima, baik oleh umum maupun oleh dunia ilmuwan. Malah justru pendapat para ilmuwan seringkali hanya mengulang-ulang pendapat yang sudah berlaku.HS.: Koreksi dan ajakan Pak Wertheim untuk selalu mengontrol kembali kesimpulan-kesimpulan atau pendapat para ahli, terutama patut diperhatikan kalangan ilmuwan Indonesia. Karena mereka itu umumnya, kalau menghadapi kesimpulan yang bersumber dari pakar Barat, lalu segera saja menerima atau menolak tanpa kritik. Kita beralih ke soal ekonomi, Pak Wertheim. Bagaimana tentang hari depan Sosialisme bagi Dunia Ketiga, dan khususnya Indonesia?WFW.: Menurut hemat saya yang umumnya juga masih diterima sejak Adam Smith, jadi sejak akhir abad ke-18, yaitu pendapat bahwa: pertama, pembangunan ekonomi dan industri yang paling baik hanya terjadi jika di bawah pimpinan Kapitalisme; dan kedua, supaya peranan pemerintah dalam kegiatan perekonomian kecil saja. Jadi pendapat umum yang juga diterima dalam abad ke-19 ialah, bahwa yang harus diperbuat pemerintah hanyalah untuk menjaga agar supaya selalu ada krust en ordem. Artinya menjadi gagasan umum dalam awal abad ke-19 agar pemerintah hanya melakukan tugas yang sangat terbatas, yaitu menegakkan hukum dan ketertiban. Pemerintah jangan mencampuri urusan perekonomian, yang semata-mata menjadi urusan perusahaanswasta. Demikian itulah teori umum pada awal abad ke-19.Tapi dalam akhir abad ke-19 sudah menjadi jelas, bahwa hal yang demikian itu tidak lagi cukup. Karena golongan buruh telah ikut menghimpun kekuatan, misalnya dalam serikat buruh, untuk melawan supaya buruh tidak hanya digunakan oleh golongan atas. Tapi supaya buruh juga bisa ikut ambil bagian dalam kegiatan ekonomi. Tapi dalam satu abad kemudian, yaitu dalam tahun 1990, rupanya mereka sudah lupa tentang hal itu sama sekali.Sebenarnya telah terjadi kesalahan yang jauh lebih umum. Yaitu teori, bahwa seolah-olah industri Inggris telah tumbuh semata-mata karena dorongan Kapitalisme saja. Seolah-olah pertumbuhan itu spontan, dan yang dipandang menjadi pujangga sejarah Inggris ialah kaum entrepreneur belaka. Padahal kalau kita mencari tahu bagaimana sejarah ekonomi di Eropa Barat, sebenarnya yang selalu terjadi justru sebaliknya. Karena sampai kira-kira tahun 1700, Inggris belum berkembang di bidang industri. Ketika itu yang paling kuat dalam industri ialah India, misalnya di Bengala dan juga Gujarat. Yang terjadi selanjutnya, yaitu dalam abad ke-18, semua impor barang tekstil dari India dilarang. Di Inggris semua orang yang memakai bahan-bahan tekstil buatan India, misalnya tekstil dari sutera dan kapas, dihukum. Tetapi bukan hanya itu. Di Inggris lama-kelamaan tumbuh perkembangan di bidang industri, dan juga adanya pemerintahan yang sangat kuat. Demikian kuatnya, sehingga bisa mendapat kemenangan pada pertempuran Plassey melawan Bengala pada tahun 1757. Sejak itu Inggris selalu menghalangi semua impor tekstil dari India, bahkan menaikkan tarif impor tekstil sampai lebih dari 35%. Parlemen Inggris waktu itu malah menganjurkan, supaya Inggris tidak menjadi importir barang jadi dari India, tetapi hanya bahan mentah, yaitu kapas dan sisal.Dengan demikian ide bahwa industrialisasi hanya terjadi atas inisiatif kapital saja sama sekali salah, oleh karena terbukti selalu sangat ditolong oleh pemerintah. Pada pertengahan abad ke-19, Inggris sudah merebut posisi sebagai satu-satunya negeri industri di seluruh dunia. Tetapi waktu itu, misalnya di Jerman dan Amerika Serikat, segera timbul pula gerakan untuk mengikuti langkah Inggris. Dan yang kemudian terjadi selalu memperlihatkan adanya campur tangan atau pertolongan pemerintah, yang berupa proteksionisme. Suatu sistem yang umumnya disebut 'merkantilisme', yaitu sistem pemerintah untuk menolong swasta. Ini terjadi di Jerman, Amerika Serikat, dan juga Perancis dalam abad ke-19. Negeri terakhir yang dapat menjadi negara industri melalui industrialisasi swasta ialah Jepang.Tapi terhadap semua negeri-negeri jajahan, tidak hanya Inggris terhadap India, tapi juga Belanda terhadap Indonesia dan Perancis terhadap Vietnam, selamanya tidak pernah ada bantuan bagi pengembangan industri, melainkan hanya tindakan untuk menghindari terjadinya persaingan. Sistem yang sama, walaupun sedikit terlambat, juga dilakukan oleh Amerika Serikat, misalnya terhadap Amerika Selatan, yaitu sistem ajaran Monroe, dari akhir Perang Dunia II. Sistem itu semata-mata ditujukan untuk mencegah agar supaya di negara-negara seperti Brazilia, Venazuela dan Kolombia tidak tumbuh industri, sehingga tetap bisa menjadi pasar untuk barang-barang jadi dari industri Amerika Serikat.Maka boleh dikatakan, sistem itu bertujuan supaya pemerintah-pemerintah di Dunia Ketiga tidak mengurus perekonomian mereka, tapi selamanya harus diurus oleh kapital internasional, melalui globalisasi dan privatisasi. Dalam situasi sekarang bagi negeri-negeri Dunia Ketiga, di mana industri masih belum kuat, semuanya ini sama sekali tidak masuk akal. Inilah soal yang saya coba untuk meyakinkan melalui buku saya tersebut di atas. Karena itu anak-judul yang saya tambahkan pada buku itu ialah 'Protective State versus Aggressive Market'.HS.: Mengapa versus'? Apakah kedua-dua sifat, 'protective' dan 'aggressive' itu, bukan karakter ganda dari kapital internasional?WFW.: 'Protective state' itu lebih sukar untuk diterangkan. Karena banyak 'states' atau pemerintah-pemerintah di Dunia Ketiga yang menerima globalisasi dan kekuasaan kapital internasional. Menurut hemat saya maksud dilakukannya privatisasi oleh Dunia Barat juga agar supaya industri di Dunia Kedua, 'Dunia Soviet' yang sekarang tidak ada lagi itu, berhasil diruntuhkannya sama sekali. Jadi sistem yang didorong dan sangat diperkuat oleh International Monetary Fund dan World Bank itu, justru untuk menghalangi proteksionisme di semua negara-negara di dunia, agar dengan demikian market sama sekali bebas. Semuanya itu hanya demi menyelamatkan posisi monopoli negara-negara industri. Boleh dikatakan bahwa seluruh sistem itu bukan untuk mengembangkan industri dan kesejahteraan umat manusia seluruh dunia, tetapi hanya untuk mempertahankan kekuasaan ekonomi yang sudah di tangan mereka.Tetapi di dunia Barat proteksi itu memang ada, dan pasar itu tidak sama sekali bebas. European Union, misalnya, semuanya ini dimaksud untuk proteksi belaka. Juga adanya perjanjian Nafta, antara Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko tak lain dimaksud untuk menolong monopoli industri Amerika Serikat.Dalam buku Third World Whence and Whither saya kemukakan sebuah anekdot dari masa kanak-kanak saya. Ketika itu saya suka main catur. Saya dengar tentang seorang grand master Anu, yang saya beri nama Loewenstein, yang menulis sebuah sistem permainan sangat tangguh yang baik untuk digunakan. Seorang pemain amatir mencoba bermain dengan pembukaan yang sama seperti ditulis grand master itu, tetapi ternyata sama sekali gagal. Lalu seorang grand master lain berkata kepadanya: "Jangan main menurut yang Loewenstein tulis, mainlah seperti yang dia sendiri main!"Anjuran anekdot di atas juga menjadi anjuran saya pada Indonesia dan semua negara Dunia Ketiga. Janganlah mendengar pada apa yang dianjurkan secara tertulis, dan yang dipaksakan IMF dan World Bank untuk Dunia Ketiga, tetapi hendaklah mengulangi apa yang pernah diperbuat Dunia Barat untuk menjadikan dirinya kuat di bidang industri. Baru-baru ini saya baca laporan, bahwa World Bank 'menyarankan pemerintah Indonesia untuk menekan upah buruh'!HS.: Bagaimana toepassing dan pengaruhnya bagi negeri-negeri Asia Timur?WFW.: Di Asia Timur, dari awal abad ke-20, boleh dikata sudah menjadi kuat. Jepang sudah mulai mengembangkan industrinya dalam akhir abad ke-19. Jepang sudah menjadi negara yang sangat kuat, juga di bidang ekonomi. Sebagai kekuatan kolonial Jepang juga sudah mulai mengembangkan industrinya, misalnya di daerah-daerah jajahannya, yaitu di Korea dan Manchuria, atau Manchukuo, di utara Tiongkok, demikian juga Taiwan atau Formosa. Jadi lain dengan negara-negara Eropa Barat, Jepang tidak menghindari industrialisasi negeri-negeri jajahannya. Tetapi sedikit menolongnya, oleh karena letak negeri-negeri jajahannya itu agak dekat, dan mempunyia bahan-bahan mentah yang Jepang sendiri tidak punya.Ada dua perkembangan terjadi di Asia Utara. Pertama di Tiongkok, yang bisa dibandingkan dengan perkembangan di Uni Soviet. Karena duanegara itu sangat kuat, dan mempunyai banyak bahan mentah. Sehingga di sana industri dapat dikembangkan tanpa bantuan Dunia Barat. Namun begitu di Uni Soviet dan Tiongkok, berbeda dengan di Barat, industri tidak dikembangkan oleh Kapitalisme. Tapi justru untuk menghindari masuknya Kapitalisme, industri dibangun di bawah pimpinan pemerintah yang sangat kuat, baik pemerintah Stalin maupun pemerintah Mao. Jadi di kedua negeri itu sudah dimulai dengan perkembangan industri yang kuat. Tapi sekarang sistem baru, yaitu yang disebut globalisasi dan privatisasi, dimaksud tidak lain untuk meruntuhkan perkembangan yang pernah dicapai Uni Soviet dahulu. Di Tiongkok hal ini belum terjadi. Tapi bahaya agak besar akan timbul, yaitu kalau kapital dari luar menjadi sangat kuat, maka di sana pun akan mengalami perkembangan serupa. Hongkong sekarang sudah masuk Tiongkok. Sehingga Kapitalisme ekstern akan menang. Tapi mengapa di Korea Selatan dan Taiwan industri toh bisa berkembang juga? Karena dalam tahun-tahun 50an-60an Amerika Serikat mempunyai cukup alasan untuk sedikit mengembangkan industri di dua negeri - yang sebenarnya sudah dimulai oleh Jepang. Taiwan untuk digunakan sebagai etalase terhadap Tiongkok, dan Korea Selatan terhadap Korea Utara.Jadi di Asia Timur boleh dikata sudah ada perkembangan industri. Tapi sama sekali bukan menurut sistem globalisasi dan privatisasi, melainkan dengan dorongan kuat dari pemerintah lokal.HS.: Bagaimana dengan Indonesia?WFW.: Ini soal yang sukar. Karena pemerintah di Indonesia sejak Orde Baru juga sangat kuat. Tapi pemerintah ini sama sekali tidak menghiraukan kesejahteraan rakyat banyak. Rakyat sama sekali tidak boleh mengembangkan inisatif sendiri, semua dipimpin dari atas. Karena itu, menurut pendapat saya, di sana ada perkembangan industrialisasi, tapi yang tidak sangat kuat dan tidak memberi manfaat yang berarti bagi rakyat banyak. Karena jumlah orang yang bekerja di lapangan industri tidak terlalu besar, sehingga tidak bisa memecahkan masalah kepadatan penduduk. Ini soal pertama. Yang dapat untung dari industrialisasi di Indonesia, umumnya di Jawa dan bukan di pulau-pulau lain, hanyalah keluarga Suharto dan kawan-kawan ekonominya, misalnya grup Liem dan grup Bob Hasan.Menurut pendapat saya yang paling penting supaya pembangunan ekonomi tidak hanya menjadi kekuasaan satu golongan kecil.Pembangunan ekonomi hanya berhasil jika bagian besar penduduk juga dapat ambil peranan aktif. Di Indonesia hal ini sama sekali tidak terjadi, oleh karena inisiatif rakyat jelata bukannya didorong tapi bahkan dibunuh.HS.: Jadi karena itu, jika melihat situasi Indonesia sekarang, menurut Pak Wertheim hari depan cita-cita atau gagasan Sosialisme di sana sudah menjadi gelap?WFW.: Menurut saya hari depan Sosialisme tetap sangat terang. Tapi harus belajar dari pengalaman-pengalaman dunia Sosialis, yang sebagian daripadanya sekarang telah menjadi pelajaran yang negatif. Pertama-tama perlu saya katakan, bahwa sistem yang dahulu dipakai di Uni Soviet dan di negeri-negeri lain di kawasan Eropa Timur yang dulu di bawah pimpinan Uni Soviet, serta juga sebagian pengalaman negatif dari Tiongkok, sejak runtuhnya negara-negara Sosialis sekarang dipakai oleh dunia Kapitalis untuk meyakinkan seluruh dunia bahwa Sosialisme telah mengalami kegagalan di mana-mana. Untuk itu digunakan segala akal dan daya-upaya. Misalnya dikatakan, bahwa di Uni Soviet segala-galanya sudah runtuh, karena Sosialisme sama sekali jelek. Demikian pula halnya, kata-kata jelek yang serupa, juga berlaku terhadap sistem Mao.Karena itu semua teori dan pernyataan, seperti tentang angka mati kelaparan yang 20-30 juta dari jaman 'Maju Melompat Besar' tersebut di atas, semata-mata didorong oleh propaganda untuk membusukkan sistem Sosialisme. Padahal sebenarnya pernah ada dua negeri di dunia yang telah berhasil menjadi kuat, yaitu Tiongkok dan Uni Soviet. Tapi untuk memenangkan ide Kapitalis, maka sekarang harus dikatakan bahwa semuanya itu bukan sukses melainkan kegagalan total. Tapi Vietnam masih lebih jelas. Karena di sana, pada waktu Ho Chi Minh, gerakan Sosialis begitu kuatnya, sehingga pada tahun 1975 bahkan berhasil mengalahkan kekuatan militer Amerika Serikat. Tetapi karena sabotase dan boikot Dunia Barat, khususnya Amerika Serikat, timbullah sekarang di sana pemerintahan yang sama sekali mau menuruti sistem privatisasi dan globalisasi, dengan menerima semua anjuran dari IMF untuk tidak mengembangkan diri sendiri. Di Kuba Castro masih bertahan. Tapi propaganda terus-menerus dilancarkan, bahwa juga di Kuba segala-galanya sudah gagal. Kegagalan itu, sampai taraf tertentu,memang telah terjadi sebagai akibat boikot total Amerika Serikat, yaitu agar Amerika Selatan, Eropa, dan bahkan seluruh dunia tidak lagi mengadakan hubungan dagang lagi dengan Kuba. Di Kuba sampai sekarang bahkan masih ada pelabuhan yang dikuasai tentara Amerika Serikat.Semua propaganda, juga dulu terhadap Nikaragua, selalu dipakai untuk membuktikan bahwa Sosialisme tidak bisa berkembang. Yang bagi saya paling mengecewakan, yaitu bahwa banyak orang yang sekarang menjadi kehilangan harapan sama sekali pada Sosialisme. Inilah hasil dari sistem pemerintah Amerika Serikat yang sangat kuat, supaya tidak ada seorang pun di dunia yang masih hendak mengucapkan 'Hidup Sosialisme'. Buku saya tersebut justru mencoba membuktikan, bahwa Sosialisme mempunyai banyak kemungkinan untuk berkembang. Justru di Dunia Barat sekarang terlihat banyak hal yang sangat berbahaya. Seperti yang terjadi di mana-mana, di dunia Kapitalis, yang dikatakan sama sekali bebas itu. Spekulasi di pasar uang membawa malapetaka di mana-mana. Masalah finansial yang sekarang terjadi di Thailand, Indonesia, dan Malaysia itu pun membuktikan tentang bagaimana sangat berhayanya sistem Kapitalisme. Saya sudah membaca banyak karangan para pakar, dan juga jurnalis di suratkabar-suratkabar, yang mengakui ketidakpercayaan mereka lagi terhadap Kapitalisme bagi Dunia Barat. Third World Whence and Whither khususnya untuk membuktikan, bahwa bagi Dunia Ketiga Kapitalisme masih jauh lebih berbahaya. Jadi Dunia Ketiga harus mencari suatu sistem Sosialis yang lebih sesuai.Walaupun sistem Soviet dan juga sistem Mao runtuh, justru sekarang bisa dikatakan bahwa ekonomi di Tiongkok pernah berkembang sangat baik, barangkali sampai tahun 1975. Tentu saja ada kelemahan-kelemahan. Sesuatu hal yang sebenarnya sangat berbahaya, yaitu kalau ada pemerintahan, di negeri mana pun juga, yang sama sekali tidak mau menerima keterbukaan. Kalau di sana tidak boleh ada kritik sama sekali terhadap sistem. Inilah yang paling berbahaya, dan bukan Sosialisme. Karena dalam Sosialisme justru terdapat banyak hal yang sangat penting. Tetapi kalau di sesuatu negara, di sana berlaku sistem diktaturial, maka pembangunan Sosialis pasti tidak akan berhasil. Menurut saya inilah kelemahannya. Bukan Sosialisme, tapi pelaksanaannya yang diktaturial itulah yang salah.HS.: Bagaimana tentang krisis valuta yang sekarang terjadi? Mengapa justru di Indonesia, dan juga Asia Tenggara pada umumnya?WFW.: Itu bisa terjadi di mana-mana. Tapi barangkali kebetulan di kawasan itu, karena di sana ekonomi masih lemah, sehingga semua sistem ekonomi gampang diruntuhkan. Misalnya mengapa terjadi di Indonesia? Karena Suharto telah mengijinkan dinaikkannya hutang pemerintah sampai entah berapa ratus milyar dolar, saya tidak tahu. Ini tentu sangat berbahaya. Juga ide ICMI Habibie untuk mengembangkan industri sampai sama tingginya dengan industri dunia, tentu sama sekali tidak mungkin dengan basis yang demikian sempit itu. Tentu saja juga karena adanya korupsi yang merajalela di negara-negara Asia Tenggara pada umumnya.Bagaimana keadaan di Thailand dan Malaysia saya tidak tahu secara detail. Tapi tentang Indonesia, juga terjadinya kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera baru-baru ini merupakan tanda bahwa wewenang pemerintah terhadap perusahaan-perusahaan kapitalis terlalu lemah. Tapi dalam hubungan ini, barangkali baik juga untuk mencari tahu, bagaimana caranya agar sistem diktaturial dapat dihindari.HS.: Jaman Sukarno sering dikatakan orang sebagai 'jaman diktaturial'. Tapi jaman Suharto sekarang ini apakah tidak jauh lebih diktaturial? Walaupun begitu mengapa 'dunia demokrasi' Barat lebih menerima Suharto daripada Sukarno? Apakah 'diktatur hijau' lebih baik dibanding 'diktatur merah'?WFW.: Ya, benar. Jaman Suharto jauh lebih diktaturial dari jaman Sukarno. Oleh karena dalam jaman Sukarno dengan sistem Demokrasi Terpimpin, mulai dari tahun 1957 sampai 1965, semua gerakan anti-Sukarno masih dimungkinkan terjadi. Kehidupan kaum oposisi saat itu mungkin tidak terlalu gampang. Ada orang-orang yang dipenjara dan sebagainya. Tetapi keadaan di jaman Sukarno jauh kurang jelek dibandingkan dengan yang terjadi sesudah Oktober 1965. Di samping itu juga jangan lupa, Demokrasi Terpimpin berlaku sebenarnya bukan oleh kemauan Sukarno. Tapi Sukarno justru bertindak karena didorong dan dipaksa oleh Jendral Nasution. Dia dipaksa dalam suatu situasi, ketika di luar Jawa sudah terjadi pemberontakan pada tahun 1957-58.Sehingga karena itu sukar bagi Sukarno untuk tidak mengumumkan sistem militer SvB (Staat van Beleg). Boleh dikata pada saat itu tentara sudah mulai dengan kemenangannya yang pertama, dan yang akhirnya memuncak ke kemenangan akhir yaitu pada akhir September 1965. Tapi, menghadapi situasi yang demikian, sistem apa yang harus ditempuh Sukarno, atau siapa saja pun, kalau bukan sistem diktatur?Dalam hubungan ini, ada pengalaman lain yang perlu diperhatikan sebagai bahan banding. Yaitu pengalaman tentang bagaimana sangat sukarnya perjuangan sekarang ini. Juga di sini saya sama sekali tidak setuju dengan pendapat yang dianjurkan di mana-mana, oleh banyak badan dan ahli-ahli, yaitu untuk mengikuti Demokrasi Barat. Menurut saya yang terutama penting, yaitu kita harus mencari jawab dulu, mengapa sampai suatu taraf tertentu Demokrasi Barat berhasil? Memang belum sangat tinggi hasil itu, tapi boleh dikatakan bahwa di Barat demokrasi telah dapat menolong perkembangan ekonomi sampai pada taraf yang sederhana.HS.: Apakah karena itu juga, maka di dalam kehidupan modern kata Demokrasi seakan-akan dipandang sebagai sepatah kata mantra? Tapi dalam perkembangannya di Barat, mengapa taraf sederhana yang pernah dicapai Demokrasi itu kemudian menjadi mundur?WFW.: Sebenarnya dari praktik Demokrasi selama beberapa abad sudah ada pengalaman yang bisa dipakai sebagai pelajaran. Yaitu bahwa yang perlu dalam Demokrasi bukannya menghitung, berapa prosen dari penduduk yang pro dan berapa prosen yang kontra. Itulah sistem formal Demokrasi. Tapi mencari tahu, apa alasannya maka sistem Demokrasi tidak langsung, yang bisa berjalan melalui pemilu-pemilu itu, dapat berkembang di Eropa Barat? Sebab, bersamaan dengan jalannya Demokrasi, lama-kelamaan lalu tumbuh suatu sistem di mana dikembangkan juga pengertian tentang kemungkinan untuk beroposisi. Sehingga karenanya, toleransi menjadi ciri yang paling penting untuk menghidupkan sistem Demokrasi. Jadi sekali lagi saya tegaskan, sama sekali tidak penting hitungan berapa prosen pro dan berapa prosen kontra. Tapi yang penting bahwa bagi yang kalah sudah tahu, suatu ketika mungkin datang kesempatan baginya untuk menang.Jadi ada ruangan bagi oposisi, dan ada kemungkinan untuk berkembang dari minoritas menjadi mayoritas, dan sebaliknya dari mayoritas berubah menjadi minoritas. Ini tentu saja merupakan sistem yang tidak gampang. Tapi ini merupakan satu syarat yang paling penting bagi perkembangan Demokrasi. Sementara itu di Dunia Ketiga pada umumnya terdapat banyak hal-hal yang sangat urgen, sangat penting dan mendesak, yang tidak bisa ditunggu sampai 4, 8 atau 12 tahun sampai suatu perubahan akan dapat terjadi. Sedangkan di Barat sebaliknya yang terjadi. Lama-kelamaan lalu tercipta situasi di mana kesejahteraan umum, walaupun belum sama sekali baik tapi tokh tidak urgen untuk dilakukan perubahan.Barangkali inilah alasannya, mengapa sistem Demokrasi indirek - dengan pemilihan umum setiap jangka tahun tertentu - tidak bisa berjalan di Dunia Ketiga. Bukan soal bangsa-bangsa Dunia Ketiga bodoh, dan tidak mengerti tentang sistem Demokrasi, tapi karena syarat untuk itu memang tidak ada. Soal yang di sana urgen, khususnya di daerah yang kelebihan penduduknya terlalu besar, ialah buruknya keadaan kehidupan. Karena itu harus ditempuh metode-metode yang, dalam jangka waktu kira-kira 10 tahun, diperkirakan bisa dilakukan perbaikan-perbaikan. Keadaan demikian terdapat misalnya di Jawa, Bangladesh, Luzon, Vietnam Utara - daerah Tongkin. Keadaan kependudukan sangat gawat, sehingga tidak bisa menunggu lama dengan menuruti metode menumbuhkan minoritas menjadi mayoritas. Mungkin Thailand lebih baik keadaannya. Di Malaysia lain lagi halnya, karena di sana tidak ada sistem sawah kecuali di daerah Kelantan - di utara. Di Malaysia jauh lebih gampang lagi, karena situasi kependudukan tidak begitu gawat.Karena itu sistem Demokrasi parlementer tidak bisa memecahkan soal-soal besar. Ini sudah dirasa oleh Sukarno. Karena ketika memulai dengan Demokrasi Terpimpin, dalam tahun 1957, dia sudah mengerti bahwa sistem parlementer yang saban tahun dengan satu kabinet itu, tidak bisa menolong keadaan. Dia sudah mengerti hal yang negatif dari sistem Demokrasi Barat itu. Walaupun begitu sudah terbentuk anggapan umum yang berlaku di mana pun juga, bahwa yang diterima sebagai alat untuk memecahkan semua masalah dunia ialah dengan memasuki sistem Demokrasi parlementer.Tapi anehnya begini. Dalam hal ekonomi sistem globalisasi boleh dikatakan bohong belaka. Di dunia Barat sendiri sistem 'free market' tidak dipakai, karena ingin selalu mempertahankan sistem monopolinya atas pasar dengan bantuan kekuasaan pemerintah. Jadi 'free market' bukan suatu sistem yang baik, yang dapat dipakai oleh Dunia Ketiga. Karena Barat sendiri selalu menggunakan suatu sistem, di mana pemerintah selalu campur tangan untuk menolong ekonomi nasional.Dalam hal Demokrasi agak berbeda soalnya. Ini lebih sukar dimengerti. Karena di Barat sistem Demokrasi memang benar ada, dan juga bisa berjalan terus. Karena itu di Barat masih terlalu sukar untuk meyakinkan pendapat umum, bahwa sistem Demokrasi yang baik untuk Dunia Barat, di mana kesejahteraan taraf yang sederhana bisa tercipta, tidak cocok bagi Dunia Ketiga.HS.: Kalau Demokrasi Barat tidak bisa memecahkan soal, lalu timbul pertanyaan: Jadi demokrasi apa yang bisa? Seperti dalam konteks hari depan Sosialisme, juga dipertanyakan Sosialisme apa?WFW.: Sukar untuk menemukan satu jawaban yang sama sekali cocok untuk pertanyaan itu. Ada satu percobaan yang menurut saya penting sekali, tetapi akhirnya toh tidak berhasil juga. Yaitu sistem yang dipakai Mao Zedong, yang pada pokoknya bisa disebut 'sistem dari massa kepada massa'. Sistem Demokrasi direk. Sistem yang menjamin orang-orang tani, misalnya, dapat mengambil bagian dalam pengambilan keputusan atas semua kehidupan mereka. Ini ideal yang paling baik dari Mao dan juga Chou Enlai. Mereka itu dalam tahun 1949 sudah mengatakan: Jangan terburu-buru, tetapi harus selalu menunggu sampai rakyat mengerti dan setuju.Dalam teori sistem 'dari massa ke massa' Mao Zedong selalu disebut-sebut sebagai sistem yang ideal. Tapi dalam praktik, banyak terjadi Mao tokh memutuskan dengan terburu-buru. Ini terjadi, misalnya, dengan program 'Maju Melompat Besar' dalam tahun 1958. Dalam hal ini terlalu banyak keputusan yang ditetapkan dari atas, dan bukan kemauan yang datang dari rakyat. Demikian juga yang terjadi dalam Revolusi Kebudayaan. Menurut teorinya ada kemungkinan untuk mengajukan kritik, misalnya melalui suratkabar tembok. Tetapi kemungkinan itu tetap berada di dalam satu sistem, di mana orang tidak boleh berbeda mengenai ide pokok. Karena itulah maka Demokrasi Direk tidak berhasil dalam dua hal itu.Tapi di Vietnam pada masa Ho Chi Minh mungkin bisa dikatakan berhasil. Barangkali karena Ho Chi Minh agak lebih hati-hati daripada Mao. Walaupun begitu Mao juga banyak berhasil. Misalnya dalam hal ekonomi. Saya empat kali ke Tiongkok, ketika Mao masih hidup dan juga sesudah ia meninggal. Pengalaman saya terutama di pedesaan, misalnya. Menurut saya banyak hal-hal yang baik, yang dicapai sesudah tahun 1962. Sebelum 1962 memang, saya membenarkan, ada masalah kelaparan dan kekurangan gizi yang gawat, di mana-mana di seluruh Tiongkok. Pada tahun 1960 dan 1961 diperkirakan boleh jadi ada 4 atau 5 juta mati kelaparan. Ini mungkin. Tapi dalam tahun 1964 saya kembali ke Tiongkok, juga pada waktu Natal 1970 dan awal tahun 1971, juga tahun 1979 ketika peranan Mao sudah mundur, tapi masih cukup kuat. Ketika itu saya melihat, bahwa dalam soal pertanian dan industri Tiongkok jauh lebih maju dibandingkan dengan India, Bangladesh, dan Indonesia. Itu bukan saja merupakan pengalaman pribadi saya, tetapi juga pengalaman ahli pertanian Perancis terkenal yang sering mengunjungi Tiongkok dan Vietnam, yaitu Rene Dumont. Dalam tahun 1976 ia menulis tentang betapa bagusnya Tiongkok kalau dilihat dari Bangladesh. Maka saya sama sekali yakin, bahwa keadaan di bidang pertanian dan industri tingkat awal sudah agak maju. Tidak benar jika dikatakan, bahwa ekonomi Tiongkok hanya berkembang sejak Deng Xiaoping, yaitu sesudah tahun 1980.HS.: Bagaimana halnya di bidang politik dan kebudayaan, dengan Revolusi Kebudayaan yang terjadi semasa Mao Zedong?WFW.: Sistem yang mengatakan bahwa hanya ada satu sayap yang selalu benar, ini tentu sangat berbahaya. Maka itu Revolusi Kebudayaan menimbulkan ketidakpuasan sangat besar di kalangan pemuda yang dikirim ke daerah pertanian, dan juga karena sistem pendidikan mengalami kemunduran, dan banyaknya reaksi dari kaum burjuasi baru di kota-kota seperti Shanghai dan lain-lainnya. Maka boleh dikatakan, sistem demokrasi 'dari massa kepada massa' model Mao ketika itu tidak cukup memberi kemungkinan untuk beroposisi. Barangkali akan lebih baik jika Demokrasi tidak memutuskan semuanya dengan satu sistem untuk seluruh negara yang besar, tetapi demi inisiatif-inisiatif rakyat di daerah-daerah, asal saja para pemimpin di daerah-daerah itu sendiri tidak menjadi burjuasi-burjuasi baru. Tapi sukar dikatakan, di mana contoh yang benar tentang demokrasi ini. Bukanlah saya, orang Barat, yang harus mengusulkan suatu sistem. Tapi mereka sendiri, orang-orang melarat atau pemimpin-pemimpin mereka di Dunia Ketiga itulah, yang harus memilih sistem yang mana. Tapi tentu bukanlah sistem kapitalis yang sekarang sudah terbukti hanya menimbulkan khaos belaka.HS.: Di Tiongkok tidak berhasil, tapi di Vietnam pada zaman Ho Chi Minh agak berhasil. Apakah mungkin ada pengaruh luasnya negeri dan besarnya jumlah penduduk? Dan bagaimana dengan Indonesia, yang berpenduduk tidak sebesar Tiongkok tapi tidak sekecil Vietnam, berwilayah luas tapi terdiri dari banyak pulau dan bangsa-bangsa?WFW.: Waktu saya mengunjungi Indonesia terakhir, tahun 1956-57, dua kali saya bertemu dengan Presiden, Bung Karno. Waktu itu saya punya banyak pengalaman dari daerah-daerah luar Jawa, misalnya Lampung dan Minangkabau, sedikit dari Bali. Di mana-mana bersama mahasiswa dan asisten saya, Kampto Oetomo yang sekarang terkenal sebagai Prof.Dr.Ir. Sajogyo, kami melakukan penyelidikan di daerah-daerah pedesaan. Kami selalu menjumpai situasi, bahwa di Jakarta sebenarnya tidak tahu tentang apa yang terjadi di luar Jawa. Jadi pada akhir kunjungan saya sebagai guru besar tamu untuk satu tahun di Fakultas Pertanian Bogor, sehari sebelum saya berangkat kembali ke Belanda bersama istri, saya bertemu dengan Sukarno untuk kedua kali. Berdasar pengalaman kami tersebut, dan mengingat bahwa Jakarta tidak banyak tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi di daerah-daerah, maka pada waktu itu saya kemukakan kepada Bung Karno, mungkin akan lebih baik jika inisiatif yang lebih besar diberikan kepada daerah-daerah luar Jawa, dan bahkan di Jawa di luar Jakarta. Jawaban Sukarno ketika itu: Itu tidak mungkin. Kami di sini di Jakarta yang harus memutuskan, di mana akan ada industri, di mana ada ini dan itu dan seterusnya ..., semua harus dari Jakarta.HS.: Alasannya?WFW.: Menurut saya karena pada waktu itu pemberontakan sudah terjadi di luar Jawa. Di Sumatera sudah ada pemberontakan Dewan Banteng, Dewan Garuda, dan Permesta di Sulawesi. Mungkin inilah alasannya dia tidak mau menerima ide saya itu. Padahal sebenarnya, khususnya bagi Indonesia yang mempunyai situasi yang sangat banyak perbedaannya antara Jawa dan pulau-pulau luar Jawa, menurut saya inisiatif harus ditumbuhkan dari bawah. Tapi saya sama sekali tidak yakin, bahwa untuk Indonesia seluruhnya perlu berlaku satu sistem Sosialisme baru yang datang dari bawah. Barangkali yang lebih mungkin dan masuk akal, jika pertama-tama ditimbulkan satu sistem di sesuatu daerah sebagai contoh.HS.: Soal itu pernah saya lempar sekitar empat tahun lalu, dengan mengambil perumpamaan 'seandainya di Indonesia lahir Republik Rakyat Delanggu, walaupun mata-uangnya kereweng dan benderanya daun jati kering, selama republik itu benar-benar setia kepada namanya 'republik rakyat', segera saya akan pulang kembali dan mengabdi pada republiknya rakyat itu, dan dari situ mengubah daerah-daerah selebihnya ...'WFW.: Tentu tidak ada yang menyambut, bukan?HS.: Tidak ada. Jadi menurut Pak Wertheim, federasi atau setidaknya autonomi luas lebih baik?WFW.: Barangkali begitu. Tapi yang selalu berbahaya yaitu jika pemerintahan federal menjadi suatu kekuatan konservatif dan sovinistis. Itu sangat berbahaya. Inilah yang terjadi di India. Sistem yang berlaku agak demokratis di seluruh India. Tapi kekuasaan yang ada di setiap negara-negara bagian, umumnya di tangan kasta yang paling atas. Masih ada yang ingin saya tambahkan. Satu hal yang sekarang sudah menjadi sama sekali terang untuk semua orang yang dapat melihat dan mendengar dengan mata dan telinga sendiri. Yaitu bahwa sistem yang sekarang, yang mau memaksakan Demokrasi Parlementer, di mana saja, hanya membawa khaos dan malapetaka. Begitulah misalnya yang terjadi di Eropa Timur. Sebab, jika dalam suatu masyarakat tidak ada toleransi untuk menerima, bahwa sesuatu golongan besok bisa menjadi minoritas atau mayoritas, ini akan mengakibatkan seperti yang telah terjadi di Uni Soviet dan Yugoslavia. Tapi sistem demokrasi, di mana saja pun di Dunia Ketiga, entah di Tanzania atau India dan di mana saja, tidak berhasil dalam memecahkan soal ekonomi. Karena terlalu banyak grup yang kuat. Sehingga kalau tidak ada cukup kritik dan claim dari bawah, maka demokrasi tidak akan berhasil, sebaliknya malah akan tumbuh menjadi kekuatan represi.(HABIS)

MENGAPA SOSIALISME?

Mengapa Sosialisme?Oleh: Albert Einstein
Apakah pantas bagi seseorang yang bukan merupakan pakar di bidang persoalan sosial dan ekonomi mengemukakan pandangannya berkaitan dengan sosialisme? Karena berbagai alasan, saya yakin hal itu pantas saja dilakukan.Pertama-tama marilah kita menganalisa pertanyaannya dari sudut pandang ilmu pengetahuan ilmiah. Terlihat memang tidak ada perbedaan metodologi yang esensial antara astronomi dan ekonomi: ilmuwan dari kedua disiplin ilmu itu mencoba untuk menemukan hukum-hukum umum yang dapat diterima sebagai sekelompok alasan yang dapat menjelaskan suatu fenomena dalam rangka untuk menghubungkan fenomena-fenomena tersebut dengan sejelas-jelasnya. Tapi pada kenyataannya beberapa perbedaan metodologi memang ada. Penemuan hukum-hukum umum dalam bidang ekonomi disulitkan oleh keadaan dimana pengamatan gejala-gejala ekonomi sering dipengaruhi oleh banyak faktor yang juga sangat sukar untuk dievaluasi secara terpisah. Selain itu, pengalaman yang telah terakumulasi sejak awal masa yang dikenal dengan periode ‘peradaban dari sejarah umat manusia’ telah banyak dipengaruhi dan dibatasi oleh sebab-sebab yang tidak bertujuan ekonomi semata. Contohnya, sebagian negara-negara besar dalam sejarah menunjukkan eksistensinya dengan menjajah. Para penjajah tersebut mengokohkan dirinya, baik secara hukum dan ekonomi, sebagai kelas yang istimewa pada negara yang dijajahnya. Mereka menetapkan secara sepihak monopoli kepemilikan tanah dan menunjuk seorang pemuka agama dari golongan mereka sendiri. Dalam mengatur pendidikan, pemuka agama telah membuat pembagian kelas dalam masyarakat menjadi institusi permanen, dan menciptakan sebuah sistem nilai yang mana masyarakat mulai –secara tidak sadar dalam banyak hal– diatur tingkah laku sosialnya.Tetapi apakah dalam sejarah kita benar-benar telah dapat mengatasi apa yang Thorstein Veblen katakan sebagai “fase pemangsa” dalam perkembangan manusia. Fakta ekonomi yang dapat diamati dan juga merupakan bagian dari fase tersebut, bahkan hukum-hukum yang diperoleh dari fase itu tidak dapat diterapkan untuk fase-fase lain. Karena tujuan utama dari sosialisme tepatnya adalah untuk mengatasi dan jauh melampaui “fase pemangsa” dalam perkembangan manusia, ilmu ekonomi dalam perkembangannya kini dapat memberikan sedikit penerangan bagi masyarakat sosialis di masa mendatang.Kedua, sosialisme diarahkan untuk mencapai etika-sosial (social-ethical) sebagai tujuan akhir. Walau bagaimanapun ilmu pengetahuan tidak dapat membuat tujuan akhir, dan bahkan, hanya dapat digunakan manusia secara bertahap: ilmu pengetahuan, utamanya, dapat memberikan cara bagaimana mencapai tujuan akhir tertentu. Tetapi tujuan akhir itu sendiri berada dalam pikiran seseorang yang memiliki etika idealis tinggi dan –jika tujuan akhir ini belum dikembangkan lebih jauh, akan tetapi penting dan kuat– diadopsi dan dikembangkan oleh banyak manusia yang, setengah sadar, menentukan evolusi masyarakat secara lambat.Dengan alasan tersebut, kita harus tetap waspada untuk tidak terlalu berharap lebih pada ilmu pengetahuan dan metode ilmiah manakala pertanyaan tersebut berkaitan dengan persoalan manusia: dan kitapun seharusnya tidak menganggap para pakar sebagai satu-satunya yang berhak untuk mengemukakan tentang pertanyaan seputar organisasi sosial dalam masyarakat.Banyak suara yang menyatakan beberapa saat ini bahwa masyarakat sedang melalui krisis, dimana stabilitasnya secara serius telah terganggu. Ini merupakan karakteristik dari suatu situasi dimana seseorang merasa tidak peduli atau bahkan menjadi tidak ramah apabila berada di dalam grup, besar atau kecil, dimana mereka bergabung. Dalam rangka untuk menggambarkan maksud saya, maka saya berikan pengalam pribadi saya. Baru-baru ini saya berdiskusi dengan seorang pria yang sangat pandai dan ramah, tentang ancaman adanya perang, yang menurut saya akan sangat membahayakan keberadaan umat manusia, juga saya tegaskan bahwa hanya sebuah organisasi supra-nasional yang dapat memberikan perlindungan dari bahaya tersebut. Kemudian rekan saya itu menjawab dengan santai dan tenang, bahwa: “mengapa kamu begitu menentang pemusnahan umat manusia?” Saya yakin bahwa berabad-abad yang lampau tidak ada seorangpun yang akan membuat pernyataan semacam ini. Ini merupakan pernyataan dari seseorang yang telah berjuang keras namun sia-sia untuk memperoleh keseimbangan dalam dirinya sendiri dan kurang lebih menjadi putus asa. Ini mrupakan ekspresi dari kesendirian yang menyedihkan dan terasing dari masyarakat banyak yang saat ini sedang menderita. Apa sebabnya? Adakah jalan keluarnya?Memang mudah untuk memunculkan pertanyaan semacam itu, tetapi sulit untuk menjawabnya dengan jaminan apapun. Saya harus mencoba, biar bagaimanapun, semampu saya, walaupun saya sadar akan fakta bahwa perasaan dan kemampuan kita kadangkala bertentang dan tidak mudah dipahami, hal tersebut tidak dapat diungkapkan dengan cara yang singkat dan mudah.Manusia, pada satu keadaan dan waktu yang sama, adalah seorang mahluk penyendiri dan mahluk sosial. Sebagai mahluk penyendiri ia berusaha untuk melindungi keberadaannya dan yang terpenting untuknya adalah memuaskan keinginan pribadinya, dan untuk mengembangkan bakatnya. Sebagai mahluk sosial, ia berusaha untuk memperoleh pengakuan dan dicintai oleh sesama manusia, untuk membagi kebahagiaan, untuk membuat nyaman mereka di kala sedih, dan untuk meningkatkan taraf hidup. Hanya saja eksistensi dari hal-hal tersebut sangat bergantung, kadang bertentangan, bergantung pada karakter pribadi manusia tersebut dan kombinasi khusus tersebut menentukan sampai sejauh mana seseorang dapat mencapai keseimbangan pribadi dan dapat memberikan sumbangan bagi kehidupan masyarakat. Sangat dimungkinkan bahwa kedua kekuatan ini, terutama digabungkan karena memang melekat padanya. Akan tetapi kepribadian yang pada akhirnya muncul sebagian besar terbentuk: oleh pengaruh lingkungan dimana manusia tersebut mengalaminya sendiri selama proses perkembangannya, oleh struktur masyarakat dimana ia dibesarkan, oleh budaya dari masyarakat, dan oleh penghargaan yang diperolehnya atas tingkah laku tertentunya. Konsepsi abstrak “masyarakat” bagi manusia perseorangan adalah keseluruhan hubungan langsung maupun tidak langsung atas masyarakat yang hidup pada masa yang sama atau pada masa sebelumnya. Individu tertentu dapat berpikir, merasakan, berjuang dan bekerja bagi dirinya sendiri, akan tetapi ia sebenarnya bergantung pula pada masyarakat –baik secara fisik, intelektual, dan emosional– sehingga sangat mustahil memikirkannya atau memahaminya di luar kerangka masyarakat. Adalah masyarakat yang menyediakan manusia dengan makanan, pakaian, rumah, perkakas, bahasa, pola pikir dan hampir sebagian isi dari pemikirannya: hidupnya menjadi nyata setelah bekerja dan berhasil sukses sejak jutaan tahun lampau dan hingga kini dimana semua hal tersebut tersembunyi di balik sebuah kata “masyarakat”.Itu adalah bukti, karenanya, ketergantungan seseorang terhadap masyarakat adalah fakta alamiah yang tidak dapat dihilangkan–sama seperti kasus semut dan kumbang. Walau demikian, ketika seluruh proses kehidupan semut dan kumbang telah ditetapkan hingga sampai detil terkecil secara kaku, pola masyarakat dan hubungan satu sama lain dari umat manusia sangat beragam dan sangat mungkin berubah. Ingatan, kapasitas untuk membuat kombinasi baru, suatu anugrah berupa kemampuan komunikasi oral telah memungkinkan suatu perkembangan umat manusia dimana hal ini tidak ditentukan oleh kebutuhan biologis. Beberapa perkembangan ditunjukkan dalam tradisi, institusi dan organisasi, dalam literatur, keberhasilan penelitian dan rekayasa, dalam hasil-hasil kesenian. Ini menunjukkan bagaimana hal tersebut dapat terjadi bahwa, dalam keadaan tertentu, manusia dapat dipengaruhi hidupnya oleh tingkah lakunya sendiri, dan dimana dalam proses ini kesadaran berpikir dan keinginannya dapat pula ikut berperan.Manusia sejak lahir memiliki, melalui keturunan, suatu struktur biologis yang mana harus kita pandang sebagai hak yang melekat dan tidak dapat dicabut, termasuk kebutuhan alamiah sebagaimana layaknya manusia pada umumnya. Selain itu, selama hidupnya, ia memiliki suatu struktur kebudayaan yang ia peroleh dari masyarakat melalui komunikasi dan melalui pengaruh-pengaruh dalam bentuk-bentuk lain. Struktur kebudayaan ini, seiring dengan perjalanan waktu, dapat berubah dan sangat ditentukan oleh hubungan antara seseorang dengan masyarakatnya. Antropologi modern, mengajarkan kita, melalui penelitian perbandingan atas kebudayaan primitif, bahwa tingkah laku sosial manusia dapat dibedakan, tergantung pada pola-pola budaya yang berlaku pada umumnya dan bentuk-bentuk organisasi yang mendominasi di masyarakat. Berdasarkan hal ini maka mereka berupaya untuk membantu bahwa banyak manusia yang mendasarkan harapannya: bahwa karena struktur biologisnya, manusia tidaklah bersalah, untuk membinasakan sesamanya atau berada di bawah kekejaman kekuasaan, adalah merupakan keyakinan pribadinya.Bila kita bertanya pada diri kita sendiri bagaimana struktur masyarakat dan tingkah laku budaya manusia seharusnya diubah untuk membuat kehidupan manusia lebih memuaskan, kita harus selalu sadar bahwa terdapat kondisi-kondisi tertentu yang tidak dapat kita ubah. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, sifat alamiah manusia adalah, untuk kepentingan praktis, tidak dapat dirubah. Selain itu, teknologi dan perkembangan demografi pada beberapa abad terakhir telah menciptakan kondisi-kondisi yang saat ini telah ada. Pada dasarnya perbandingan kepadatan populasi yang menetap dengan jumlah barang yang tidak dapat digantikan guna kelangsungan hidupnya, jumlah pembagian distribusi tenaga kerja dan tingginya jumlah aparat yang produktif adalah suatu keharusan. Saat –dimana pada masa lalu tampaknya begitu damai– telah hilang untuk selamanya ketika individu atau kelompok-kelompok kecil dapat sepenuhnya mandiri. Ini hanya sedikit membesar-besarkan bahwa umat manusia membentuk suatu komunitas kehidupan dari produksi dan konsumsi.Saat ini saya telah mencapai suatu titik dimana dapat saya indikasikan secara jelas bagi saya apa yang menjadi esensi dari krisis saat ini. Hal itu berkaitan dengan hubungan antara indivisu dengan masyarakat. Individu menjadi lebih sadar daripada sebelumnya akan ketergantungan kepada masyarakat. Tetapi ia tidak menyadari bahwa ketergantungan ini sebagai suatu aset berharga, suatu ikatan organik, suatu tenaga pelindung, tetapi lebih cenderung sebagai ancaman terhadap hal-hal alamiahnya, atau bahkan atas kondisi ekonominya. Lebih jauh, posisinya dalam masyarakat lebih ditekankan terus-menerus dalam bentuknya dimana lebih ditentukan oleh sifat egoisnya, ketimbang ditentukan oleh alur sosialnya, yang mana secara alamiah memang lebih lemah, yang terus menerus mengalami pembusukan. Seluruh umat manusia, apapun posisinya di masyarakat, mengalami penderitaan dalam proses pembusukan. Tanpa disadari mereka terpenjara dalam egoismenya sendiri, perasaan takut, kesendirian dan secara naif takut kehilangan, sederhana dan tidak rumit menjalani hidup. Menusia dapat menemukan arti dalam kehidupan, pendek dan berisiko sebagaimana layaknya, hanya melalui pengabdian dirinya dalam masyarakat.Anarki ekonomi dari masyarakat kapitalis sebagaimana yang terjadi saat ini, menurut pendapat saya adalah sumber utama dari kejahatan. Kita lihat sebelumnya terdapat komunitas besar dari suatu produsen suatu anggota yang terus berupaya agar dapat memperoleh buah dari hasil kerja samanya, tanpa adanya paksaan, tetapi secara keseluruhan berada dalam jaminan hukum yang berlaku. Dalam kaitan ini, penting untuk disadari bahwa tujuan produksi -sebagaimana disebut, seluruh kemampuan produktif yang dibutuhkan untuk membuat barang-barang kebutuhan utama sebagaimana pentingnya pula membuat barang-barang penting lainnya- menurut pendapat saya adalah kepemilikan pribadi dari para individu.Untuk memudahkan, dalam diskusi selanjutnya saya akan menyebut “pekerja” kepada semua yang tidak ikut memiliki apa yang menjadi tujuan-tujuan produksi walaupun hal ini tidak cukup berhubungan dengan pengertian dalam bentuk umum. Pemilik dari tujuan-tujuan produksi berada dalam posisi untuk membeli tenaga kerja dari para pekerja. Dengan menggunakan tujuan-tujuan produksi, para pekerja menciptakan barang-barang baru yang menjadi milik para kapitalis. Hal utama dari proses ini adalah hubungan antara apa yang pekerja telah hasilkan dengan apa yang telah ia peroleh (upah), dua hal ini menjadi ukuran dalam kaitannya dengan nilai sesungguhnya. Sepanjang kontrak kerja adalah ‘bebas’, apa yang diperoleh pekerja tidak ditentukan oleh nilai sesungguhnya dari barang-barang yang dihasilkannya, tetapi oleh kebutuhan minimum dan oleh kebutuhan kapitalis akan tenaga kerja dalam kaitannya dengan jumlah pekerja yang bersaing untuk bekerja. Hal ini penting untuk dipahami bahwa walaupun pada tataran teori pembayaran para pekerja tidak ditentukan oleh nilai dari hasil produksinya.Modal swasta cenderung untuk terus terkonsentrasi pada beberapa tangan, terutama karena kompetisi di antara para kapitalis, dan terutama karena perkembangan teknologi dan pertumbuhan pembagian kerja menumbuhkan formasi unit-unit yang lebih besar dengan pengeluaran semakin kecil. Hasil dari perkembangan-perkembangan ini adalah oligarki dari modal swasta sebagai kekuatan besar yang tidak dapat diawasi secara efektif walau oleh mayarakat politik yang terorganisir secara demokratis sekalipun. Hal ini benar, sebab anggota dari badan-badan legislatif merupakan pilihan dari partai-partai politik, yang sebagian dibiayai atau paling tidak dipengaruhi oleh kapitalis swasta yang mana, untuk kepentingannya, memisahkan antara pemilih dengan yang dipilih. Konsekuensinya adalah wakil rakyat tersebut kenyataannya tidak sepenuhnya melindungi kepentingan kelompok populasi yang tidak diistimewakan. Lebih jauh, sejalan dengan kondisi saat ini, kapitalis swasta tidak dapat dihindari mulai mengontrol, baik langsung maupun tidak, sumber-sumber utama dari informasi (pers, radio, pendidikan). Hal ini tentunya menjadi sangat sulit, dan bahkan dalam banyak kasus menjadi mustahil, bagi seseorang warga negara untuk dapat memperoleh kesimpulan yang obyektif dan dapat secara cermat menggunakan hak-hak politiknya.Situasi yang terjadi dalam dunia ekonomi yang berbasiskan kepemilikan modal swasta memiliki karakteristik yang terdiri dari dua prinsip utama: Pertama, tujuan-tujuan produksi (modal) yang dimiliki oleh swasta dan pemiliknya menempatkannya sejauh ia memandang hal itu pantas. Kedua, kontrak kerja itu bebas. Tentu saja, tidak ada sesuatu yang merupakan masyarakat kapitalis murni dalam hal ini. Dalam hal tertentu, patut pula diperhatikan bahwa pekerja, melalui perjuangan politik yang panjang dan pahit, telah sukses dalam mengamankan apa yang disebut perbaikan bentuk atas “kontrak kerja bebas” bagi kategori pekerja tertentu. Tetapi secara keseluruhan, saat ini ekonomi tidak ada bedanya dengan kapitalis “murni”.Produksi ditujukan untuk memperoleh keuntungan, bukan untuk dipakai. Tidak ada suatu ketentuan bahwa semua yang mampu dan mau bekerja dapat selalu berada di posisi untuk memperoleh pekerjaan; sebuah ‘pasukan pengangguran’ selalu saja ada. Pekerja berada dalam keadaan cemas takut kehilangan pekerjaannya. Karena pengangguran dan upah buruh yang rendah tidak dapat menyediakan pangsa pasar yang menguntungkan, produksi barang-barang konsumsi dibatasi, dan penderitaan besar adalah konsekuensinya. Perkembangan teknologi seringkali menyebabkan lebih banyak pengangguran daripada meringankan beban pekerjaan. Motif untuk keuntungan, dalam kaitannya dengan kompetisi di antara kapitalis, bertanggung jawab atas ketidakstabilan dalam akumulasi dan penggunaan modal yang pada akhirnya meningkatkan beban depresi yang parah. Kompetisi tanpa batas menjadikan penyia-nyiaan pekerjaan dan menyebabkan kepincangan kesadaran sosial individu sebagaimana telah saya uraikan sebelumnya.Kepincangan individu ini saya anggap sebagai kejahatan terburuk dari kapitalisme. Seluruh sistem pendidikan kita menderita karena setan ini. Suatu sikap kompetisi yang berlebihan tertanam dalam benak setiap pelajar, yang diajarkan semata-mata untuk memperoleh kesuksesan sebagai persiapan untuk masa depannya. Saya yakin hanya ada satu jalan untuk menghilangkan setan jahat ini, yaitu dengan menciptakan suatu ekonomi sosialis, disertai dengan sistem pendidikan yang dapat diorientasikan untuk mencapai tujuan sosial. Dalam bentuk ekonomi, tujuan-tujuan produksi dimiliki oleh masyarakat itu sendiri dan digunakan dengan terencana. Suatu ekonomi terencana, yang menyesuaikan produksi sesuai kebutuhan masyarakat, akan membagi pekerjaan untuk diselesaikan oleh semua yang mampu bekerja dan dapat menjamin tujuan hidup seluruh manusia, baik laki-laki, perempuan dan anak-anak. Pendidikan dari setiap individu, dalam rangka menambah kemampuan lahiriahnya, akan mencoba untuk mengembangkan dalam dirinya rasa tanggung jawab atas sesama umat manusia di tempat yang lebih baik dan sukses dalam masyarakat kita saat ini.Walau demikian, ada suatu hal penting untuk diingat bahwa ekonomi yang terencana belumlah langsung menjadi sosialisme. Suatu ekonomi terencana dapat disertai dengan perbudakan individu secara lengkap. Pencapaian sosialisme membutuhkan solusi yang sangat sulit atas beberapa problem sosial politik: Bagaimana mungkin, dalam pandangan kekuatan politik dan ekonomi terpusat yang sangat berpengaruh, untuk mencegah para birokrat menjadi terlalu berkuasa dan terlalu percaya diri? Bagaimana hak-hak individu dapat dilindungi dan dengan demikian keseimbangan demokratis dengan kekuasaan birokrasi dapat dijamin?Kejelasan akan tujuan dan permasalahan sosialisme adalah sangat signifikan dalam masa peralihan ini. Sejak, dalam kondisi saat ini, diskusi yang bebas dan tidak terbendung mengenai masalah-masalah ini telah menjadi suatu hal yang sangat tabu, saya berpendapat landasan dari majalah ini akan sangat penting bagi kepentingan publik. ****