02 May 2008

JALAN BARU PSI

THE THIRD WAY DAN JALAN BARUPARTAI SOSIALIS INDONESIA(Tentang “The Third Way and its Critics”A.Giddens dan Sosialisme Kerakyatan) Oleh: M. Fadjroel Rachman[1] Jalan Ketiga dan Kritik TerhadapnyaPolitik mewujudkan keadilan sosial dan kebebasan, itulah politik partai dan gerakan sosialis atau demokrasi sosial. Namun Anthony Giddens dalam The Third Way:The Renewal of Social Democracy (Polity Press, UK, 199 dan dilanjutkan dengan The Third Way and its Critic (Polity Press, UK, 2000) mencoba memodernisasi praktek politik demokrasi sosial klasik tersebut, dan melampaui neoliberalisme (Thatcherism, Reaganism, dan kanan-baru lainnya). Hal ini merupakan restrukturisasi kerangka pemikiran dan pembentukan kebijakan demokrasi sosial baru menghadapi lima dilema besar masyarakat kontemporer: globalisasi, individualisme, signifikansi kiri/kanan, pemeran politik baru dan isu ekologi. Menurut Tony Blair, Perdana Menteri Inggris sekarang, dikutip Giddens, bahwa The Third Way relevan mengatasi dominasi dua doktrin politik: demokrasi sosial yang terlalu bertumpu pada negara dan neoliberalisme yang terlalu bertumpu pada filsafat pasar bebas dan menjawab bagaimana menerapkan nilai-nilai progresif secara global dengan cara-cara baru.Anthony Giddens membongkar dan mengusulkan jawaban bagi partai maupun gerakan demokrasi sosial dan sosialis dimana pun dalam buku larisnya The Third Way: The Renewal of Social Democracy. ‘Sebuah upaya memodernisasi demokrasi sosial agar tidak masuk liang kubur,’ tandas Giddens. Giddens merumuskan program The Third Way, diantaranya: spektrum politiknya adalah tengah-radikal (radical-centre) atau kiri-tengah (centre-left), membentuk negara demokrasi baru (negara tanpa musuh) dan negara berinvestasi sosial, mengaktifkan masyarakat sipil, membentuk ekonomi campuran baru, membangun negara dan demokrasi kosmopolitan. Program baru ini, menurut Giddens akan mengatasi doktrin demokrasi sosial klasik (kiri lama) yang tidak efektif menjawab perubahan fundamental kontemporer. Kiri lama terbentur, karena mempertahankan: campurtangan negara yang terlalu luas terhadap kehidupan ekonomi dan politik bahkan masyarakat sipil (membebani anggaran, juga mematikan inovasi, kreatifitas dan produktifitas), terlalu menekankan pemilikan negara dan perlindungan berlebihan terhadap warganegara dari ‘ayunan hingga ke liang kubur’, lebih parah lagi konsep modernisasinya linear, menyepelekan isu ekologi dan bagian dari kebijakan politik perang dingin.Berselang dua tahun, Giddens menuai kritik dan harus menulis The Third Way and its Critics. Terhadap pengeritiknya, Giddens menjelaskan dan menegaskan kembali apa yang telah diungkapkan tuntas menurutnya dalam buku pertama. Seperti para revisionis generasi III lainnya, [generasi I dipelopori Eduard Bernstein (1890) yang tetap setia dengan gagasan kunci Marxisme, menggagas jalan ke sosialisme secara evolusioner melalui tekanan demokrasi, generasi II dipelopori Partai Sosial Demokrat Jerman (SPD) dengan Program Dasar Bad Godesberg (1959) yang membongkar basis massa partai dari partai kelas pekerja menjadi partai rakyat (people’s party)], Giddens mempertahankan gagasan bahwa, ‘bagi kaum demokrasi sosial bukan hanya kapitalisme dan pasar yang menjadi masalah, tetapi pemerintah dan negara juga. Tetapi pasar bukanlah kejahatan yang niscaya, sebab tak ada alternatif terhadap ekonomi pasar, harus ada upaya merestrukturisasi pemerintah agar efektif mengendalikan pasar, karena pasar tak mungkin menciptakan keadilan maupun kebebasan.Kritik utama terhadap The Third Way: (1)Konsepnya kabur, dan tidak koheren sehingga disamakan saja kebijakan politik Tony Blair, Bill Clinton, Schroder, Cardoso (Brazil), bahkan Boris Yeltsin; (2) Secara faktual bergerak ke spektrum politik konservatif (kanan), konstituen barunya tidaklah cocok dengan tujuan gerakan kiri, dari kelas pekerja ke kelas menengah; (3)Menerima neoliberalisme, atau kata Oskar Lafontaine, mantan Menteri Keuangan Jerman, mengesahkan kapitalisme pasar bebas global; (4) Berkonteks Anglo-Saxon, tidak relevan untuk negara yang praktek negara kesejahteraannya lebih unggul dari Inggris seperti Swedia; (5) Tidak memiliki kebijakan ekonomi yang khusus, kecuali mengijinkan pasar memainkan peran lebih besar; (6) Bahkan tak mampu menghadapi isu ekologi, karena dengan mendukung globalisasi berarti menyetujui kerusakan ekologi.Giddens menekankan lagi bahwa The Third Way adalah program politik yang koheren, efektif dan integratif menghadapi perubahan fundamental sekarang, dengan menjelaskan ulang gagasan: (1) Hubungan baru pemerintah, masyarakat sipil dan strategi ekonomi agar lebih efektif mengantisipasi perkembangan pasar global; (2) Merevisi konsep dan pendekatan persamaan (equality) dan memfokuskan pada negara yang berinvestasi sosial (human capital investment); dan; (3) Menegaskan pentingnya persoalan globalisasi, sekaligus mendorong kerjasama internasional dalam pembentukan tata-kelola (governance) ekonomi dunia, manajemen ekologi global, pengaturan MNC/TNC global, mengendalikan perang dan mengembangkan demokrasi kosmopolitan/transnasional. Adapun kebijakan ekonominya terfokus pada: pendidikan, budaya wiraswasta, insentif, fleksibilitas, dan investasi sosial. Dengan tegas pula Giddens mengatakan bahwa politik The Thirds Way bukan model Anglo-Saxon seperti Partai Demokrat Baru-nya Clinton maupun Partai Buruh Baru-nya Blair. Tetapi mengakui bahwa mereka merupakan pionir beberapa ide dan kebijakan kunci politik The Third Way.Jalan Baru Partai Sosialis Indonesia dan Empat PembaruannyaBercermin dari perkembangan pemikiran sosialisme dan demokrasi sosial secara internasional dan perubahan fundamental dalam lingkungan politik, ekonomi, sosial dan budaya secara lokal, nasional, maupun global. Tampaknya Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang sejak pendiriannya (12 Februari 194 hingga dilarang rezim Soekarno (1960), namun belum pernah dibubarkan sampai sekarang, yang dikenal sebagai partai yang mengembangkan pemikiran demokrasi sosial di Indonesia, harus melakukan pembaharuan yang sangat mendasar. PSI dengan pemikiran politik demokrasi sosial atau sosialisme kerakyatan (menurut Sutan Sjahrir) sangat penting untuk dikembangkan karena merupakan alternatif terhadap perubahan fundamental secara lokal, nasional, maupun global sekarang ini. Tujuannya untuk membentuk negara kesejahteraan (welfare state politics) merupakan alternatif terbaik untuk keluar dari rezim otoriter birokratis-militer, kapitalisme-negara rezim Orde Baru dan kapitalisme pasar-bebas global (globalisasi)Untuk itu, harus dilakukan Empat Pembaruan Partai Sosialis Indonesia meliputi: (1) Ideologi atau identifikasi politik; (2) Program nasional dan lokal; (3) Organisasi dan; (4) Basis massa. Ideologi atau identifikasi politik baru PSI haruslah menampilkan politik nilai demokrasi dan sosialisme sehingga Pasal 1, Azas Tujuan, Peraturan Dasar PSI, misalnya akan berbunyi, ‘Partai Sosialis Indonesia berdasarkan asas-asas keadilan, kemanusiaan, kerakyatan, kebebasan dan solidaritas.Untuk menuju masyarakat sosialis berdasarkan demokrasi.’ Daripada mempertahankan azas tujuan lama, ‘Partai Sosialis Indonesia berdasarkan faham sosialisme yang disandarkan pada ajaran ilmu pengetahuan Marx-Engels menuju masyarakat sosialis berdasarkan kerakyatan.’Identifikasi politik baru tersebut lebih memungkinkan luasnya dukungan warganegara terhadap politik negara kesejahteraan, tidak hanya terbatas pada kelas pekerja industri saja. Sutan Sjahrir sebenarnya sudah mengisyaratkan kemungkinan ini, karena sosialisme bukan sekedar gagasan dan politik emansipasi kelas pekerja, tetapi untuk menghapuskan ketidakadilan dan penghisapan manusia atas manusia. Kata Sjahrir dalam ‘Penjelasan Azas-azas dan Garis Politik’ (Suara Sosialis, No:2, Th.IV, 15 April 1952), ‘…sosialisme di dunia Barat mulanya hanya merupakan gerakan buruh, sekarang golongan lain di dalam masyarakat, yang kehilangan kepercayaannya pada masyarakat kapitalis, yaitu kaum terpelajar, kaum tukang, kaum pengusaha kecil, kaum kebudayaan, kaum pertengahan kecil, kaum tani, lebih hari lebih menaruhkan nasibnya pada perubahan dan perbaikan yang dapat diharapkan dari sosialisme.’Melalui identifikasi politik baru itu, setiap warganegara dapat menjangkarkan pilihan politiknya terhadap asas-asas, dari beragam motif: humanisme, filsafat, kebudayaan, ilmu pengetahuan, agama, maupun marxisme-kritis. Meluasnya motif dukungan menyebabkan program nasional PSI harus mewakili kepentingan pemilihnya (konstituen), dengan batasan tegas bahwa politik negara kesejahteraan mewujudkan keadilan/persamaan dan kebebasan sebagai sarana dan tujuannya. Bukan sekedar persamaan dihadapan hukum, tetapi keadilan sosial yang terwujud sepenuhnya, setidaknya dalam hak-hak sosial: hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, hak atas perumahan, hak sosial bagi anak-anak, usia lanjut dan cacat.Dengan demikian, menurut Norberto Bobbio dalam Left & Right: The Significance of a Political Distinction (Polity Press, UK, 1996), sumbu pemisah gerakan kiri dan kanan adalah pada nilai fundamental (generic values): keadilan/persamaan (equality/egalitarian) dan kebebasan (freedom). Ekstrim kiri, kata Bobbio, memperjuangkan keadilan tanpa kebebasan (melalui kediktatoran proletar), namun kiri-tengah atau tengah-radikal memperjuangkan keadilan/persamaan sekaligus kebebasan, inilah ciri partai atau gerakan demokrasi sosial. Disisi lain, ekstrim kanan, menunjuk pada rezim politik anti-keadilan/persamaan dan anti-kebebasan seperti Fascisme dan Naziisme, sedangkan kanan-tengah menopang kebebasan tetapi anti-keadilan/persamaan, hanya menopang persamaan didepan hukum.Secara organisatoris, karena melibatkan dukungan mayoritas rakyat dalam sistem demokratis, maka PSI akan menjadi partai rakyat (people’s party) bukan lagi partai untuk satu golongan, tetapi partai untuk semua golongan. Maka basis massanya pun berubah, perhatian tertuju pada kaum buruh, kaum tani dan nelayan, kaum miskin kota-desa, profesional (pekerja kerah putih), kaum agama, minoritas (suku, agama, ras), intelektual/akademisi, perempuan, pemuda/mahasiswa, orientasi seksual berbeda (gay, lesbian, bisex) dan gerakan isu tunggal seperti lingkungan/HAM/anak/korban kekerasan/anti-militerisme/aktifis mahasiswa, dan lainnya.Dengan demikian, arti pentingnya The Third Way maupun kritik terhadapnya adalah menegaskan kembali bahwa jalan demokrasi sosial adalah alternatif terbaik untuk menghadapi kapitalisme-pasar, kapitalisme-negara, neo-liberalisme dan kapitalisme pasar-bebas global (globalisasi). Pemikiran sosialisme kerakyatan dan PSI pun tak terkecuali dapat menjadi alternatif terbaik dalam menjalankan politik negara kesejahteraan, bila melakukan pembaruan mendasar. Melalui pembaruan mendasar itu, mayoritas rakyat dalam sistem demokrasi Indonesia dapat menjangkarkan masa depan keadilan, kemanusiaan, kerakyatan, kebebasan dan solidaritasnya pada Jalan Baru Sosialisme Kerakyatan dan Jalan Baru Partai Sosialis Indonesia***
[1] Ketua Badan Pekerja (Pjs.) Masyarakat Sosialis Indonesia (Socialist Society), Deklarator dan Alumni Pemuda Sosialis Jakarta (PSJ), Direktur Eksekutif Research Institute for Democracy and Society (ReDS-Indonesia).

No comments: